Rasul berdakwah mengikuti ajaran dan cara yang diperintahkan dalam Al-Qur’an. Seperti yang tersurat dalam Al-Qur’an Surah An-Nahl (16) ayat 125 yang bunyinya:
“Ajaklah ke jalan Allah dengan bijak dan nasihat yang
baik dan berdialoglah dengan mereka melalui cara yang lebih baik lagi.”
Selama beliau memulai berdakwah di Mekah di awal periode
kenabiannya pada 13 Agustus 610, kemudian
hijrah ke Madinah pada 24 September
622, para sahabat yang bergabung dan memeluk Islam sudah tercatat berjumlah 180
orang. Kebanyakan mereka adalah para budak atau bekas budak dan kaum fakir.
Selama masa 3 tahun awal bedakwah di Mekah, mereka berdakwah
secara sembunyi-sembunyi, namun mereka tetap selalu mendapat teror dan gangguan
dari kaum atau orang-orang Arab jahiliyah. Teror ini juga
dilakukannya oleh Pamannya Abu Lahab berserta istrinya yaitu Ummu Jamil.
Sehingga dalam masa tiga tahun beliau berdakwah di Mekah, jumlah pemeluk agama
Islam baru sekitar 30 orang.
Pada 614, para pengikut Rasul berjumlah 40 orang, kemudian
turun wahyu dari Allah Swt agar Nabi Muhammad Saw
mulai berdakwah secara terbuka atau terang-terangan. Sebagaimana dalam firman
Allah Swt:
“Maka umumkanlah apa yang diperintahkan kepadamu, dan
berpalinglah dari orang yang mempersekutukan Tuhan!” (Q.S. An-Nahl: 94)
Berdakwah kepada Keluarga Terdekat
Nabi Muhammad Saw diperintahkan oleh Allah agar memulai
dakwahnya dari keluarga terdekat, seperti dalam ayat Al-Qur’an yang artinya:
“Berilah peringatan kepada keluargamu terdekat.” (Q.S. Asy- Syu’ara: 214).
lalu, beliau mengundang sekitar 40 orang anggota keluarga
terdekatnya. Di antaranya terdapat paman beliau Abu Thalib, Hamzah, Abbas, dan
Abu Lahab. Ali menuturkan bahwa saat itu rasul bersabda:
“Wahai anak-anak Abdul Muththalib, saya bersumpah dengan
nama Allah, di antara seluruh Suku Arab, saya tidak mengetahui adanya seseorang
yang akan membawa bangsa Arab pada sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah
saya sampaikan kepada kalian. Saya membawa Anda kepada keselamatan dunia dan
akhirat. Allah telah memerintahkan saya untuk mengundang kalian kepada-Nya.
Maka siapa di antara kalian yang mau membantuku dalam urusan ini akan menjadi
saudaraku, pengemban wasiatku, dan menjadi khalifahku untuk kalian?”
Mereka yang hadir tetap diam.
“Meskipun saya (Ali) paling muda, paling banyak
“bertahi-mata”, berperut paling gendut, dan berkaki paling kecil dibanding
berperut paling gendut, dan berkaki paling kecil dibandingkan mereka, saya
berkata, “Ya Nabi Allah, saya siap menjadi pembantumu dalam segala urusanmu.”
Lalu beliau memegang pundakku seraya bersabda, “Inilah saudaraku, pengemban
wasiatku, dan khalifahku bagi Anda sekalian. Dengarlah kata-katanya, dan
turutilah dia!” Ali melanjutkan riwayatnya. “Lalu mereka semua tertawa dan
berkata kepada Abu Thalib, “Muhammad sedang mengatakan kepadamu untuk
mendengarkan dan mematuhi kata-kata anakmu!”
Ternyata, Ali tidak main-main dengan katanya. Sebagian besar
dari mereka kelak ditebas Ali dalam Perang Badar.
Dalam mengajar dan berdakwah, beliau selalu mengikuti cara
yang telah digariskan Allah Swt, sebagaimana yang telah tercantum dalam Q.S.
An-Nahl ayat 125. Ayat tersebut merupakan gambaran secara lengkap tentang cara
menyampaikan ajaran Allah kepada manusia yang berbeda sifat, tabiat, dan
karakternya.
Ada manusia yang haus dalam mencari kebenaran, ada juga
manusia awam, yaitu mereka yang apriori dan menolak. Untuk menghadapi
kelompok-kelompok tersebut perlu diterapkan cara yang sesuai dan tepat. Oleh
karena itu, Nabi Muhammad Saw dalam menyampaikan sesuatu hal selalu menilai
terlebih dahulu tingkat kecerdasan dan daya tangkap dari setiap orang. Sebelum
mulai berbicara, beliau melihat apa dan siapa yang dihadapinya. Bahasa dan
tutur kata yang disampaikan mudah dimengerti dan dipahami, sehingga semua
ucapan beliau selalu menyejukkan hati dan enak didengar.
Dalam masa dakwah Rasulullah Saw, penyiksaan serta
pemenjaraan terhadap kaum muslim semakin merajalela. Mereka dipaksa untuk
meninggalkan agama barunya. Melihat hal ini, rasulullah bersabda kepada para
sahabat, “Bertebaranlah kalian di muka bumi!”
Para sahabat bertanya, “Kemana, wahai Rasul ?” rasul menjawab, “Ke Habasyah!”.
Rasul meminta kepada Raja Ethiopia, Raja Negus, agar kaum
muslim diizinkan untuk pindah ke negerinya. Negus memberikan izin dan dia
menolak permintaan dari Kaum Jahiliyah untuk menyerahkan umat muslim kepada
penguasa Makkah. Berangkatlah sebelas orang lelaki dan empat orang perempuan
pada April 615 M hijrah ke Habasyah. Mereka pergi dengan mengendarai dua perahu
dagang.
Banyak cara dan taktik yang dilakukan Kaum Jahiliyah Makkah
terhadap nabi serta para pengikutnya. Antara lain pelecehan, hinaan, paksaan,
penyiksaan, penganiayaan, pemenjaraan, pengisolasian, embargo bahkan sampai
pemboikotan. Pada Mei 616 M, Rasulullah SAW berserta klan Hasyim mendapatkan
perlakuan tidak menyenangkan dari kaum jahiliyah. Mereka dikurung di Lembah
atau Syi’ib Abu Thalib selama tiga tahun lamanya.
Selama masa pengurungan ini, kaum jahiliyah membuat selebaran
yang berisi, bahwa kaum jahiliyah tidak boleh menikah dengan anggota keluarga
Bani Hasyim, mereka juga tidak boleh melakukan jual beli dengan keluarga Bani
Hasyim, serta anggota keluarga Bani Hasyim tidak boleh keluar dari Lembah Abu
Thalib kecuali untuk melakukan umrah di bulan Syawal atau berhaji di bulan
haji.
Anggota Bani Hasyim sendiri yang dikurung di lembah tersebut
tidak hanya dari golongan Islam, tetapi juga dari golongan non-Islam. Antara
lain penganut Islam yang dikurung di lembah tersebut adalah paman rasul bernama
Hamzah bin Abdul Muththalib,sepupu rasul bernama Ali bin Abi Thalib, Ubaidah
bin Harits bin Abdul Muththalib yang juga sepupu Rasul. Pada 620 M, satu tahun
setelah masa pemboikotan terhadap rasul, beliau kehilangan orang yang paling
dicintainya dan paling dekat padanya yaitu pamannya, Abu Tahlib. Kemudian
tiga bulan berikutnya disusul dengan meninggalnya Khadijah.
Dalam melakukan shalat pun nabi sering mengalami hal yang
tidak menyenangkan, salah satunya pernah dilempari rahim domba. Serta pada saat
beliau sedang menanak nasi, tempat menanaknya dilempari oleh orang-orang
jahiliyah. Karenanya, apabila rasul sedang melakukan shalat beliau melakukannya
dengan sembunyi-sembunyi.
Setelah pamannya wafat dan sebelum hijrah ke Madinah,
perlakuan buruk terhadap nabi semakin menjadi-jadi. Pernah pada satu masa, saat
nabi hendak pulang, kaum jahiliyah menyiram kepala beliau dengan pasir. Ketika
nabi masuk rumah dengan kepala penuh pasir, seorang putrinya langsung
membersihkan kepalanya sambil menangis. Melihat hal ini rasulullah bersabda
kepadanya, “Putriku sayang, janganlah menangis.
Allah akan melindungiku. Kaum Quraisy tak berani melakukan apapun sampai Abu
Thalib meninggal dunia.”
Sejak Abu Thalib meninggal dunia, pimpinan terhadap Klan
Hasyim dipegang oleh Abu Lahab saudaranya. Pada masa kepemimpinannya,
perlindungan terhadap nabi dihentikan. Melihat hal ini kaum jahiliyah semakin
berani melakukan aksinya untuk membunuh rasul.
Melihat hal ini, tanpa kenal lelah rasul berusaha menemui
tokok-tokoh bangsa Arab untuk memperkenalkan diri serta meminta bantuan
perlindungan kepada mereka. Tiga tahun sebelum hijrah (Mei 620 M), bulan Syawal
ketika nabi beserta Ali bertolak ke Tha’if. Perjalanan ini ditempuh dalam dua
hari. Ketika tiba di Tha’if, kembali beliau mendapatkan perlakuan yang tidak
menyenangkan. Rasul dilempari dengan bebatuan hingga kepalanya berdarah, sedangkan
Ali mati-matian melindunginya.
Di Tha’if, Rasul tinggal selama sepuluh hari. Kemudian
setelah mengislamkan seorang budak Kristen yang bekerja di salah satu
perkebunan, beliau kembali ke Makkah. Perjalanan dilanjutkan rasul bersama Ali
mengunjungi Klan Sha’sha’ah. Beliau tinggal di sana selama sepuluh hari, tetapi
kemudian memutuskan untuk pulang karena tidak mendapat dukungan di sana.
Kemudian, beliau menuju Klan Syaiban, beliau tinggal selama
tiga belas hari di sana untuk memohon perlindungan dari mereka. Tetapi mereka
pun tidak mau menolong beliau. Selama sebelas tahun rasulullah diutus, tak
seorang pun yang mau menerima Islam. Rasul tidak pernah lelah dan berhenti
menemui mereka baik perorangan mau pun perkelompok untuk mengajak mereka
memeluk Islam. Baru dua bulan setelah kembali dari Tha’if ( 19 Juli 620 M)
persis dua tahun sebelum hijrah, ada enam orang yang bersedia menerima ajakan
rasul.
Dua tahun kemudian, pada musim haji (9 Juli 621 M) di tengah
hari Tasyriq’ pada jalan setapak dekat lereng bukit dari Makkah ke Mina, rasul
berbicara pada orang Yastrib yang sedang melakukan haji. Mereka terdiri atas
dua puluh orang, dua orang dari Klan ‘Aus sementara sisanya dari Klan Khazraj.
Di tempat tersebut, mereka membuat perjanjian yang isinya antara lain; untuk
tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak boleh berzinah, tidak boleh
memfitnah tetangga, dan tidak boleh membantah perintah rasul. Di sinilah tempat
terjadinya baiat Aqabah pertama.
Sehari setelah mereka pulang ke Madinah, nabi mengutus seorang
guru mengaji dan sekaligus mengajarkan Islam. Dia adalah Mush’ab bin Hsyim bin
Abdul Manaf. Mush’ab merupakan sepupu Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim
ayah nabi. Menurut riwayat, setelah satu tahun Mush’ab diutus di Madinah,
terdapat satu atau lebih muslim atau muslimat pada setiap rumah penduduk di
sana. Dia dikenal sebagai ahli dakwah yang sangat sabar, dan sagat meneladani
sikap rasulullah. Mush’ab meninggal dunia empat tahun kemudian pada Perang
Uhud.
Tiga bulan sebelum rasulullah hijrah pada 24 September 622
M, ada 73 orang lelaki dan wanita penduduk Yatsrib datang untuk dibaiat oleh
rasul. Sebagaimana baiat Aqabah pertama, baiat Aqabah kedua ini pun dilakukan
secara sembunyi-sembunyi pada tengah malam. Sebelum membaiat, mereka sebenarnya
sudah memeluk Islam melalui Mush’ab dan penduduk Yastrib yang setahun sebelum
dibaiat rasul pada baiat Aqabah pertama. Perjalanan dakwah rasul benar-benar
penuh perjuangan, tapi karena keteguhan iman dan keyakinannya kepada Allah,
semua dijalani beliau dengan rela dan iklhlas.[]Moch. Mufti Al-chakim.
Untuk selanjutnya konten yang dipublish dicantumkan identitas kontributornya.
BalasHapusInsyaAllah akan kami cantumkan
Hapus