Mahasiswa Sebagai Pionir Perubahan
Belakangan ini semakin hari semakin banyak permasalahan yang
terjadi pada tubuh pemerintah dan kepemimpinannya yang berimbas pada
terganggunya ketentraman dan ketenangan hidup masyarakat. Era demokrasi semakin
menuntut kebebasan dari masyarakat untuk bersuara menyuarakan aspirasinya
kepada pemerintah. Sayangnya, aspirasi masyarakat kadangkala hanya dianggap
sebagai angin lalu oleh pemerintah di tengah carut marutnya birokrasi
Indonesia. Hanya sedikit golongan yang bisa menembus benteng pemerintah dan
mengawali perubahan. Kelompok itu kita sebut saja salah satunya adalah
intelektual muda atau mahasiswa. Mahasiswa selalu menjadi bagian dari
perjalanan sebuah bangsa. Roda sejarah selalu menyertakan mahasiswa sebagai
pelopor, penggerak, bahkan sebagai pengambil keputusan. Masalah ini telah
terjadi di berbagai negara di dunia, baik di Timur maupun di Barat.
Mahasiswa biasanya memerankan diri sebagai golongan yang
kritis sekaligus konstruktif terhadap ketimpangan sosial dan kebijakan politik,
ekonomi. Mahasiswa sangat tidak toleran dengan penyimpangan apapun bentuknya
dan nurani mereka yang masih relatif bersih dengan sangat mudah tersentuh
sesuatu yang seharusnya tidak terjadi namun ternyata itu terjadi atau dilakukan
oleh oknum atau kelompok tertentu dalam masyarakat dan pemerintah. Pemikiran
kritis, demokratis, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para
mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan mengangkat
realita sosial yang terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong mahasiswa
untuk memperjuangkan sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara mereka sendiri.
Menurut Ridarmin S.Kom, M.Kom[1] dalam hal ini, secara umum mahasiswa menyandang
tiga fungsi strategis, yaitu:
- Sebagai
penyampai kebenaran (agent of social control)
- Sebagai
agen perubahan (agent of change)
- Sebagai
generasi penerus masa depan (iron stock)
Sedangkan menurut Arbi Sanit, 2008,[2] ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa
dalam kehidupan berbangsa, yaitu:
- Sebagai
kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa
mempunyai horison yang luas diantara masyarakat.
- Sebagai
kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di
universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang
terpanjang di antara angkatan muda.
- Kehidupan
kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di
Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan
agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari.
- Mahasiswa
sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan,
struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya
merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.
Intelektual muda identik dengan kreativitas dan solusi.
Dalam hal itu, mahasiswa dituntut untuk dapat berperan lebih nyata terhadap
perubahan atau paling tidak menjadi pendorong dari sebuah perubahan ke arah
yang lebih baik. Universitas Islam Indonesia sebagai salah satu pergruan Tinggi
Islam yang dirancang dan didirikan oleh para tokoh Agama dan tokoh Nasional
saat itu, dengan maksud untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia memiliki
keempat karakter di atas plus kemampuan keagamaan yang kuat yang mampu mewarnai
dalam kehidupannya.
Posisi sebagai pionir perubahan sudah pasti bersifat
sementara karena kelak di kemudian hari mahasiswa tidak lagi tetap menjadi
mahasiswa dan mereka justru menjadi pelaku-pelaku inti dalam kehidupan suatu
negara atau masyarakat. Ironisnya, seringkali gerakan mahasiswa yang baru saja
dibahas sepertinya tidak mempunyai visi yang jelas serta kehilangan konsep. Itu
semua disebabkan karena kesadaran mahasiswa akan suatu gerakan belum sepenuhnya
terbuka dan bahkan cenderung bersifat euforia. Hanya beberapa mahasiswa saja
yang benar-benar konsisten serta matang dalam menggagas gerakan pembaharuan.
Bahkan terkadang mereka melakukan demonstrasi yang anarkis. Maka dalam tulisan
ini penulis memberikan saran bahwasanya demonstrasi memang tetap penting dalam negara
demokrasi, namun demonstrasi yang diinginkan adalah demonstrasi dengan tertib,
tidak anarkis, dan benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat bukan alat satu
kelompok atau golongan tertentu.
Mahasiswa sebagai calon pemimpin dan pembina pada masa depan
ditantang untuk memperlihatkan kemampuan untuk memerankan peran itu. Jika gagal
akan berdampak negatif pada masyarakat yang di pimpinnya demikian pula
sebaliknya. Dalam perubahan sosial yang hebat saat ini, mahasiswa sering
dihadapkan pada kenyataan yang membingungkan dan dilematis. Suatu pilihan yang
teramat sulit harus ditentukan, apakah ia terjun dalam arus perubahan sekaligus
mencoba mengarahkan dan mengendalikan arah perubahan itu ataukah sekedar
menjadi pengamat dan penonton dari perubahan atau mungkin justru menjdi korban
obyek sasaran dari perubahan yang dikendalikan oleh orang lain.
Melihat realitas dan tantangan di atas, mahasiswa memiliki
posisi yang sangat berat namun sangat strategis dan sangat menentukan. Sekarang
bukan zamannya lagi untuk sekedar menjadi pelaku pasif atau menjadi penonton
dari perubahan sosial yang sedang dan akan terjadi tetapi harus mewarnai
perubahan tersebut dengan warna masyarakat yang akan dituju dari perubahan
tersebut yaitu masyarakat yang adil dan makmur baldatun thoyyibatun
warabbun ghafûr di bawah naungan NKRI.
Pergeseran Peran Mahasiswa
Di era modern dan globalisasi ini, di mana seluruh dunia
turut serta menukar maupun menawarkan budaya, bahasa, serta ilmu pengetahuan
yang dimilikinya dan entah apakah karena peng-global-an itu kita jarang sekali
menemukan kata “peduli (carrying)” dalam kosakata keseharian kita. Atau
mungkin rasa kebanggan sebagai bangsa timur yang sarat dengan adat dan etika
itu hilang ditelan globalisasi yang makin carut marut? Mungkin sebagian umum
banyak orang yang tahu apa itu “peduli”, tapi yang tertanam di diri mereka
hanyalah wacana, sekedar tahu tapi tak memahaminya. Indonesia dikenal dengan
keberagamannya mulai dari suku, bahasa, dan budaya!
Sungguh luar biasa pendahulu kita itu, pemuda yang tak kenal
takut, berkata satu meski tumpah darah pun taruhannya. Sejak itu kita bisa tahu
gerakan pemuda di Indonesia dimulai dengan Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Hingga istilah pemuda tersebut mengalami pergesaran arti dengan sebutan
mahasiswa, sosok yang memiliki kadar intelektual tinggi. Hal ini sah-sah saja
karena untuk mengadakan perubahan bangsa tidak cukup dengan semangat ‘muda’
namun dituntut juga dengan intelektual plus ilmu keagamaan bagi mahasiswa UII,
yang mumpuni dan yang menjadikan nilai lebih mahasiswa adalah gerakan mereka
relatif bebas dari berbagai intrik politik. Sebut saja kedudukan, jabatan dan
bahkan kekayaan.
Peran mahasiswa pada angkatan ‘66, ‘74 dan ‘98 telah
memberikan label The Agent of Social Control. Apalagi perjuangan
mereka tidak lain adalah penyalur lidah masyarakat yang tertindas pada masa
rezim yang berkuasa saat itu. Kekuatan moral yang dibangun lebih disebabkan
karena mahasiswa yang selalu bergerak secara aktif. Seperti dengan turun ke
jalan demi berteriak menuntut keadilan dan pembelaan terhadap hak-hak wong
cilik –orang kecil (ed.)-. Namun seiring perjalanan waktu
gerakan mahasiswa akhir-akhir ini seperti kehilangan gregetnya, aksi-aksi
penentangan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat
tidak lagi mampu mengundang simpati mereka. Bahkan rakyat cenderung beranggapan
‘mahasiswa cuma bisa ngomong dan demo melulu’. Apalagi ditemukan beberapa kasus
demo bayaran. Belum lagi perilaku-perilaku negatif kian marak dibawa sebagian
mahasiswa ke dalam lingkungan sekitar kampus, sehingga dengan memukul rata,
sehingga rakyat semakin yakin akan ‘kemunafikan’ mahasiswa.
Jadi di mana jiwa nasionalisme pemuda (baca: mahasiswa) saat
ini? Mari kita buktikan kembali kejayaan seorang pemuda yang mampu menjadi Agent
of Change! Mari kita lihat diri kita sendiri apakah moral kita sudah benar
adanya? Atau hanya meneriakkan omong kosong yang hanya mampu memanaskan kuping
rakyat di luar sana?
Reorientasi Peran Mahasiswa
Mahasiswa sebagai kaum intelektual muda, kini tengah berada
di persimpangan. Antara perjuangan idealisme dan pragmatisme. Jargon sebagai agent
of change and social control, kini mulai pudar seiring dengan berjalannya
waktu. Jika kita membuka lembaran sejarah perjuangan kemerdekaan, maka akan
kita jumpai di sana lembaran yang mengharumkan nama mahasiswa. Sekelompok kecil
mahasiswa menempati posisi terdepan, yakni sebagai pelopor. Bahkan posisi
kepeloporan tersebut menjadi amat eksklusif, hal ini disebabkan masih langkanya
kekuatan sosial kepemudaan selain mahasiswa dimasa kebangkitan nasional
tersebut. Bukan hanya itu, ketika kita membuka lembaran sejarah perjuangan
pasca perang kemerdekaan, kita juga akan menjumpai beberapa lembaran yang
kembali mengharumkan nama mahasiswa. Jatuhnya rezim orde lama dan orde baru pun
tak lepas dari kepeloporan mahasiswa di garda depan perjuangan. Tidak
berlebihan kiranya jika kemudian masyarakat mengklaim mahasiswa sebagai agent
of change and social control, walaupun sesungguhnya yang harus mengontrol
kondisi sosial dan melakukan perubahan adalah seluruh masyarakat, bukan hanya
mahasiswa.
Namun peran mahasiswa sebagai agent of change and
social control saat ini mulai pudar. Karakter pelopor perubahan yang
seharusnya melekat pada diri mahasiswa mulai usang. Sedikit sekali peran nyata
yang dapat dilakukan oleh mahasiswa. Sistem pendidikan yang hanya ingin
menciptakan tenaga kerja siap pakai dan siap jual, yang hanya “menggiring”
mahasiswa dengan how to know things (penalaran teoritis)
daripada penguasaan aspek how to do things (keterampilan)
menyebabkan munculnya pandangan-pandangan pragmatis di kalangan mahasiswa.
Mahasiswa hanya mau tahu dengan apa yang sudah ada didepannya tanpa mau membuka
kesadaran kritisnya dan tidak ingin melihat lebih dekat tentang apa yang
sebenarnya terjadi di lingkungan sosialnya. Djaduk Ferianto[3] berpendapat sistem pendidikan saat ini seperti pabrik
yang hanya mencetak kuantitas, bukan kualitas. Oleh karena itu banyak lulusan
sarjana yang bekerja tidak sesuai dengan kompetensi atau jurusan yang diambil
semasa kuliah.
Demikian halnya dengan Program Percepatan Kuliah (PPK) yang
saat ini sedang digalakkan oleh perguruan tinggi termasuk UII. Efek negatif
yang dapat timbul pada diri mahasiswa ialah IP minded atau
lebih dikenal dengan istilah SO (Study Oriented). Mahasiswa terbuai
dalam teori-teori kuliahnya serta harus berpikir bagaimana memecahkan teori
atau soal untuk sekadar mengejar nilai A yang rutinitasnya dari kost, warung,
kampus, kost warung kampus dan seterusnya tanpa mau memikirkan aplikasi yang
dapat bermanfaat bagi lingkungan sosialnya. Terciptalah mahasiswa yang pandai
berteori dengan penguasaan aplikasi yang tipis.
Mahasiswa hanya memikirkan bagaimana caranya agar lulus
tepat waktu (4 tahun syukur kurang). Sehingga kegiatan-kegiatan kemahasiswaan
berkurang. Unit-unit kegiatan mahasiswa yang sebelumnya diramaikan dengan
aktivitas dan kreativitas mahasiswa, kini mulai ditinggalkan. Banyak mahasiswa
yang berpotensi untuk menghasilkan produk-produk teknologi maupun penemuan lain
tidak terberdayakan. Tidak sedikit mahasiswa yang mau tidak mau harus
meninggalkan aktivitas organisasi, sehingga lulusan yang dihasilkan pun kurang
berkualitas, kurang dapat bersosialisasi dan bekerjasama. Padahal hal tersebut
sangat diperlukan pada setiap lingkungan sosial.
Reorientasi Peran
Memang setiap zaman memiliki tantangan yang berbeda, namun
peran mahasiswa sebagai agent of change and social control tidak
akan pernah berubah. Karakter pelopor perubahan harus tetap menjiwai diri
mahasiswa dan tidak akan usang walau ditelan zaman. Rakyat masih memerlukan
sentuhan kepedulian mahasiswa. Reformasi yang diteriakkan oleh mahasiswa,
bahkan sampai menelan korban jiwa, hingga saat ini belum selesai. Mahasiswa
merupakan iron stock (red. asset) bangsa dan
negara dimasa depan, sesuai dengan jargon yang sering diutarakan, yakni student
now leader tommorow. Oleh karena itu perlu adanya orientasi kembali peran
mahasiswa saat ini untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin dimasa yang akan
datang, sehingga perubahan yang dicita-citakan bersama dapat terwujud.
Rasulullah Sebagai Figur Teladan Mahasiswa Muslim
Rasulullah Muhammad s.a.w. telah memberikan keteladanan bagi
orang-orang yang mengharap rahmat Allah S.W.T. dan yakin akan adanya hari
akhir. Keteladanan tersebut mencakup seluruh perikehidupannya dimulai sejak
beliau menerima wahyu pertama di Gua Hira sampai menghembuskan nafas yang
mengakhiri perjuangannya di dunia. Hikmah-hikmah kebaikan yang dilakukannya
bahkan sejak beliau belum menyandang status kerasulannya pun dapat kita
teladani.
Hijrah yang dilakukan Rasulullah s.a.w. merupakan proses
perpindahan geografis beliau s.a.w. dari satu kota (Mekah) ke kota lainnya
(Yatsrib). Ia (Hijrah) terjadi pada tahun ke-3 sejak pemboikotan kaum Quraisy
terhadap umat Islam yang pada saat itu merupakan tahun-tahun terberat
perjuangan Nabi s.a.w., atau merupakan tahun ke-13 sejak ‘Iqra’
diturunkan kepadanya. Rasulullah s.a.w. berhijrah bersama seorang sahabat
terdekatnya, Abu Bakar al-Shiddiq, melalui berbagai macam halangan dan
rintangan dari kaum Quraisy saat itu.
Hijrah adalah sebuah momentum luar biasa penting yang
dilakukan dalam penegakan peradaban Islam. Ia memiliki banyak sekali makna bagi
perjuangan Rasulullah s.a.w. beserta para sahabatnya. Hijrah berarti
pendeklarasian sebuah entitas haq (dalam hal ini yaitu umat Islam) yang
berpisah tanpa sedikit pun beririsan dengan entitas kebatilan (kaum Mekah
Quraisy jahiliy). Hijrah juga berarti sebuah nafas, cahaya, dan titik embun
baru yang menyegarkan dan membangkitkan harapan besar serta optimisme umat
Islam saat itu. Hijrah berarti dimulainya perjuangan dan kepemimpinan Islam
atas umat manusia. Momentum Hijrah berarti berpindah dari buruk menjadi baik,
dari lemah menjadi kuat, dari cerai menjadi satu, dari tertindas menjadi
memimpin.
Terdapat peristiwa dan hikmah-hikmah dibelakang kesuksesan
Hijrah Rasulullah s.a.w. Dimulai dari penyiapan Mush’ab ibn Umair yang dikirim
ke Yatsrib untuk mempersiapkan para pendukung dakwah Rasulullah s.a.w. Lalu
Baiat Aqobah pertama dan kedua untuk memastikan kesiapan entitas Yatsrib untuk
dijadikan markas dakwah. Selain itu, peristiwa kesedihan yang menimpa
Rasulullah s.a.w. karena wafatnya para pendukung terbaiknya dalam dakwah Islam
dan ketidakadilan yang dialami umat Islam di Mekah menjadi sebuah motivasi
insaniyah yang mendorong keinginan untuk merasakan kondisi kehidupan dan dakwah
yang lebih baik. Dan pada akhirnya tentu faktor perintah Allah S.W.T. kepada
Rasulullah s.a.w. untuk berhijrah dan atas berkah pertolongan Allah S.W.T.
skenario Hijrah tersebut berjalan dengan sempurna.
[1] Ridarmin. 2008. Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan.
Sumber: Internet
[2] Al-Muzammi, Abdullah. 2008. Peran dan Tanggung
Jawab Mahasiswa dalam Lingkungan Sosial. Sumber: Internet.
0 komentar:
Posting Komentar