Jumat, 13 September 2013

Ciri-ciri Ahlus Sunnah Wal Jamaah

0 komentar

Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah memiliki ciri-ciri khusus. Adapun ciri-ciri itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

[1] Sumber pengambilannya bersih dan akurat. Hal ini karena aqidah ahlus sunnah wal jama'ah berdasarkan Kitab dan Sunnah serta ijma' para orang-orang shaleh terdahulu, para Salafush Shalih, yang jauh dari keruhnya hawa nafsu dan syubhat.

[2] Ia adalah aqidah yang berlandaskan penyerahan total kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab aqidah ini adalah iman kepada sesuatu yang ghaib. Karena itu, beriman kepada yang ghaib merupakan sifat orang-orang mukmin yang paling agung, sehingga Allah memuji mereka : " Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya ; petunjuk bagi orang yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib". [Al-Baqarah : 2-3]. Hal itu karena akal tidak mampu mengetahui hal yang ghaib, juga tidak dapat berdiri sendiri dalam memahami syari'at, karena akal itu lemah dan terbatas. Sebagaimana pendengaran, penglihatan dan kekuatan manusia itu terbatas, demikian pula dengan akalnya. Maka beriman kepada yang ghaib dan menyerah sepenuhnya kepada Allah adalah sesuatu yang niscaya.

[3] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah aqidah yang sejalan dengan fithrah dan logika yang benar, bebas dari syahwat dan syubhat.

[4] Sanadnya bersambung kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sahabat, tabi'in dan para imam, baik dalam ucapan, perbuatan maupun keyakinan. Ciri ini banyak diakui oleh para penentangnya. Dan memang -Alhamdulillah- tidak ada suatu prinsip pun dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang tidak memiliki dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah atau dari Salafus Shalih. Ini tentu berbeda dengan aqidah-aqidah bid'ah lainnya.

[5] Ia adalah aqidah yang mudah dan terang, seterang matahari di siang bolong. Tidak ada yang rancu, masih samar-samar maupun yang sulit. Semua lafazh-lafazh dan maknanya jelas, bisa dipahami oleh orang alim maupun awam, anak kecil maupun dewasa. Ia adalah aqidah yang berdasar kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sedangkan dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah laksana makanan yang bermanfaat bagi segenap manusia. Bahkan seperti air yang bermanfaat bagi bayi yang menyusu, anak-anak, orang kuat maupun lemah.

[6] Selamat dari kekacauan, kontradiksi dan kerancuan. Betapa tidak, ia adalah bersumber kepada wahyu yang tak mungkin datang kepadanya kebatilan, dari manapun datangnya. Dan kebenaran tidak mungkin kacau, rancu dan mengandung kontradiksi. Sebaliknya, sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Allah berfirman : "Kalau sekiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya" [An-Nisaa : 82]

[7] Mungkin di dalamnya terdapat sesuatu yang mengandung perdebatan, tetapi tidak mungkin mengandung sesuatu yang mustahil. Dalam aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah ada hal-hal yang di luar jangkauan akal, atau tidak mampu dipahami. Seperti seluruh masalah ghaib, adzab dan nikmat kubur, shirath, haudh (telaga), surga dan neraka, serta kaifiyah (penggambaran) sifat-sifat Allah. Akal manusia tidak mampu memahami atau mencapai berbagai persoalan di atas, tetapi tidak menganggapnya mustahil. Sebaliknya ia menyerah, patuh dan tunduk kepadanya. Sebab semuanya datang dari wahyu, yang tidak mungkin berdasarkan hawa nafsu.

[8] Ia adalah aqidah yang universal, lengkap dan sesuai dengan setiap zaman, tempat, keadaan dan umat. Bahkan kehidupan ini tidak akan lurus kecuali dengannya.

[9] Ia adalah aqidah yang stabil, tetap dan kekal. Ia tetap teguh menghadapi berbagai benturan yang terus menerus dilancarkan musuh-musuh Islam, baik dari Yahudi, Nashrani, Majusi maupun yang lainnya. Ia adalah akidah yang kekal hingga hari kiamat. Ia akan dijaga oleh Allah sepanjang generasi. Tak akan terjadi penyimpangan, penambahan, pengurangan atau penggantian. Betapa tidak, karena Allah-lah yang menjamin penjagaan dan kekalannya. Ia tidak menyerahkan penjagaan itu kepada seorangpun dari mahluk-Nya, Alah berfirman : "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan Kamilah yang akan menjaganya". [Al-Hijr : 9]

[10] Ia adalah sebab adanya pertolongan, kemenangan dan keteguhan. Hal itu karena ia adalah aqidah yang benar. Maka orang yang berpegang teguh kepadanya akan menang, berhasil dan ditolong. Hal itu sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang membela kebenaran, yang tidak akan membahayakan mereka orang yang merendahkan mereka sampai datangnya keputusan Allah, dan mereka dalam keadaan demikian". [Hadits Riwayat Muslim 3/1524]. Maka barangsiapa mengambil aqidah tersebut, niscaya Allah akan memuliakannya dan barangsiapa meninggalkannya, niscaya Allah akan menghinakannya. Hal itu telah diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah. Sehingga, ketika umat Islam menjauhi agamanya, terjadilah apa yang terjadi, sebagaimana yang menimpa Andalusia (Spanyol) dan yang lain.

[11] Ia mengangkat derajat para pengikutnya. Barangsiapa memegang teguh aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, semakin mendalami ilmu tentangnya, mengamalkan segala konsekwensinya, serta mendakwahkannya kepada manusia, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya, meluaskan kemasyhuranya serta keutamaannya akan tersebar, baik sebagai pribadi maupun jama'ah. Hal itu karena akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah akidah terbaik yang sesuai dengan segenap hati dan sebaik-baik yang diketahui akal. Ia menghasilkan berbagai pengetahuan yang bermanfaat dan akhlak yang tinggi.

[12] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah kapal keselamatan. Maka barangsiapa berpegang teguh dengannya, niscaya akan selamat. Sebaliknya barangsiapa meninggalkannya, niscaya tenggelam dan binasa.

[13] Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah aqidah kasih sayang dan persatuan. Karena, tidaklah umat Islam itu bersatu dalam kalimat yang sama di berbagai masa dan tempat kecuali karena mereka berpegang teguh dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebaliknya, mereka akan berpecah belah dan saling berselisih pendapat jika menjauh darinya.
[14] Aqidah Ahlus Suannah wal Jama'ah adalah aqidah istimewa. Para pengikutnya adalah orang-orang istimewa, jalan mereka lurus dan tujuan-tujuannya jelas.
[15] Ia menjaga para pengikutnya dari bertindak tanpa petunjuk, mengacau dan sikap sia-sia. Manhaj mereka satu, prinsip mereka jelas, tetap dan tidak berubah. Karena itu para pengikutnya selamat dari mengikuti hawa nafsu, selamat dari bertindak tanpa petunjuk dalam soal wala' wal bara' (setia dan berlepas diri dari orang lain), kecintaan dan kebencian kepada orang lain. Sebaliknya, ia memberikan ukuran yang jelas, sehingga tidak akan keliru selamanya. Dengan demikian ia akan selamat dari perpecahan, bercerai berai dan kesia-siaan. Ia akan tahu kepada siapa harus membenci, dan mengetahui pula hak serta kewajibannya.

[16] Ia akan memberikan ketenangan jiwa dan pikiran kepada pengikutnya. Jiwa tidak akan gelisah, tidak akan ada kekacauan dalam pikirannya. Sebab akidah ini menghubungkan antara orang mukmin dengan Tuhannya. Ia akan rela Allah sebagai Tuhan, Pencipta, Hakim dan Pembuat Syari'at. Maka hatinya akan merasa aman dengan takdir-Nya, dadanya akan lapang atas ketentuan-ketentuan hukum-Nya, dan pikirannya akan jernih dengan mengetahui-Nya.

[17] Tujuan dan amal pengikut aqidah ini mejadi selamat. Yakni selamat dari penyimpangan dalam beribadah. Ia tidak akan menyembah selain Allah dan akan mengharapkan kepada selain-Nya.

[18] Ia akan mempengaruhi prilaku, akhlak dan mua'malah. Aqidah ini memerintahkan pengikutnya melakukan setiap kebaikan dan mencegah mereka melakukan setiap kejahatan. Ia memerintahkan keadilan dan berlaku lurus serta mencegah mereka dari kezhaliman dan penyimpangan.

[19] Ia mendorong setiap pengikutnya bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam segala sesuatu.

[20] Ia membangkitkan jiwa mukmin agar mengagungkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebab ia mengetahui bahwa Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah haq, petunjuk dan rahmat,karena itu mereka mengagungkan dan berpegang teguh pada keduanya.

[21] Ia menjamin kehidupan yang mulia bagi pengikutnya. Di bawah naungan aqidah ini akan terwujud keamanan dan hidup mulia. Sebab ia tegak atas dasar iman kepada Allah dan kewajiban beribadah kepada-Nya, dan tidak kepada yang lain. Dan hal itu -dengan tidak diragukan lagi- menjadi sebab keamanan, kebaikan dan kebahagiaan dunia-akhirat. Keamanan adalah sesuatu yang mengiringi iman. Maka, barangsiapa kehilangan iman, ia akan kehilangan keamanan. Allah berfirman : "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk". [Al-An'am : 82]. Jadi orang-orang yang bertakwa dan beriman adalah mereka yang memiliki kemanan yang sempurna dan petunjuk yang sempurna pula, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, orang-orang musyrik dan pelaku maksiat adalah orang-orang yang selalu ketakutan. Mereka senantiasa diancam dengan berbagai siksaan di setiap saat.

[22] Aqidah ini menghimpun semua kebutuhan ruh, hati dan jasmani.

[23] Mengakui akal, tetapi membatasi perannya. Ia adalah aqidah yang menghormati akal yang lurus dan tidak mengingkari perannya. Jadi, Islam justru tidak rela jika seorang muslim memadamkan cahaya akalnya, lalu hanya bertaklid buta dalam persoalan aqidah dan lainnya. Meskipun begitu, peran akal tetaplah terbatas.

[24] Mengakui perasaan manusia dan membimbingnya pada jalan yang benar. Perasaan adalah sesuatu yang alami pada diri manusia dan tak seorangpun manusia yang tidak memilikinya. Aqidah ini adalah aqidah yang dinamis, tidak kaku dan beku, ia mengaku adanya perasaan manusia serta menghormatinya, tetapi bukan berarti ia mengumbarnya. Sebaliknya ia meluruskan dan membimbingnya sehingga menjadi sarana perbaikan dan pembangunan, tidak sebagai alat perusak dan penghancur.

[25] Ia menjamin untuk memberi jalan keluar setiap persoalan, baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan atau persoalan lainnya.

Dengan aqidah ini, Allah telah menyatukan hati umat Islam yang berpecah belah, hawa nafsu yang bercerai berai, mencukupkan setelah kemiskinan, mengajari ilmu setelah kebodohan, memberi penglihatan setelah buta, memberi makan dari kelaparan dan memberi mereka keamanan dari ketakutan.

[Tasharrufan (saduran) dari Mukhtasar Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama'ah, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Buletin AN NUR Thn. IV/No. 139/Jum'at I/R.Awal 1419H]
[]Abdul Hafidz
Read full post »

Selasa, 03 September 2013

PERJALANAN DAKWAH ROSULULLAH SAW

2 komentar

Rasul berdakwah mengikuti ajaran dan cara yang diperintahkan dalam Al-Qur’an. Seperti yang tersurat dalam Al-Qur’an Surah An-Nahl (16) ayat 125 yang bunyinya:
“Ajaklah ke jalan Allah dengan bijak dan nasihat yang baik dan berdialoglah dengan mereka melalui cara yang lebih baik lagi.”
Selama beliau memulai berdakwah di Mekah di awal periode kenabiannya pada 13 Agustus 610, kemudian hijrah ke Madinah pada 24 September 622, para sahabat yang bergabung dan memeluk Islam sudah tercatat berjumlah 180 orang. Kebanyakan mereka adalah para budak atau bekas budak dan kaum fakir.
Selama masa 3 tahun awal bedakwah di Mekah, mereka berdakwah secara sembunyi-sembunyi, namun mereka tetap selalu mendapat teror dan gangguan dari kaum atau orang-orang Arab jahiliyah. Teror ini juga dilakukannya oleh Pamannya Abu Lahab berserta istrinya yaitu Ummu Jamil. Sehingga dalam masa tiga tahun beliau berdakwah di Mekah, jumlah pemeluk agama Islam baru sekitar 30 orang.
Pada 614, para pengikut Rasul berjumlah 40 orang, kemudian turun wahyu dari Allah Swt agar Nabi Muhammad Saw mulai berdakwah secara terbuka atau terang-terangan. Sebagaimana dalam firman Allah Swt:
“Maka umumkanlah apa yang diperintahkan kepadamu, dan berpalinglah dari orang yang mempersekutukan Tuhan!” (Q.S. An-Nahl: 94)
Berdakwah kepada Keluarga Terdekat
Nabi Muhammad Saw diperintahkan oleh Allah agar memulai dakwahnya dari keluarga terdekat, seperti dalam ayat Al-Qur’an yang artinya:
“Berilah peringatan kepada keluargamu terdekat.” (Q.S. Asy- Syu’ara: 214).
lalu, beliau mengundang sekitar 40 orang anggota keluarga terdekatnya. Di antaranya terdapat paman beliau Abu Thalib, Hamzah, Abbas, dan Abu Lahab. Ali menuturkan bahwa saat itu rasul bersabda:
“Wahai anak-anak Abdul Muththalib, saya bersumpah dengan nama Allah, di antara seluruh Suku Arab, saya tidak mengetahui adanya seseorang yang akan membawa bangsa Arab pada sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah saya sampaikan kepada kalian. Saya membawa Anda kepada keselamatan dunia dan akhirat. Allah telah memerintahkan saya untuk mengundang kalian kepada-Nya. Maka siapa di antara kalian yang mau membantuku dalam urusan ini akan menjadi saudaraku, pengemban wasiatku, dan menjadi khalifahku untuk kalian?” 
Mereka yang hadir tetap diam
“Meskipun saya (Ali) paling muda, paling banyak “bertahi-mata”, berperut paling gendut, dan berkaki paling kecil dibanding berperut paling gendut, dan berkaki paling kecil dibandingkan mereka, saya berkata, “Ya Nabi Allah, saya siap menjadi pembantumu dalam segala urusanmu.” Lalu beliau memegang pundakku seraya bersabda, “Inilah saudaraku, pengemban wasiatku, dan khalifahku bagi Anda sekalian. Dengarlah kata-katanya, dan turutilah dia!” Ali melanjutkan riwayatnya. “Lalu mereka semua tertawa dan berkata kepada Abu Thalib, “Muhammad sedang mengatakan kepadamu untuk mendengarkan dan mematuhi kata-kata anakmu!” 
Ternyata, Ali tidak main-main dengan katanya. Sebagian besar dari mereka kelak ditebas Ali dalam Perang Badar.
Dalam mengajar dan berdakwah, beliau selalu mengikuti cara yang telah digariskan Allah Swt, sebagaimana yang telah tercantum dalam Q.S. An-Nahl ayat 125. Ayat tersebut merupakan gambaran secara lengkap tentang cara menyampaikan ajaran Allah kepada manusia yang berbeda sifat, tabiat, dan karakternya. 
Ada manusia yang haus dalam mencari kebenaran, ada juga manusia awam, yaitu mereka yang apriori dan menolak. Untuk menghadapi kelompok-kelompok tersebut perlu diterapkan cara yang sesuai dan tepat. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw dalam menyampaikan sesuatu hal selalu menilai terlebih dahulu tingkat kecerdasan dan daya tangkap dari setiap orang. Sebelum mulai berbicara, beliau melihat apa dan siapa yang dihadapinya. Bahasa dan tutur kata yang disampaikan mudah dimengerti dan dipahami, sehingga semua ucapan beliau selalu menyejukkan hati dan enak didengar.
Dalam masa dakwah Rasulullah Saw, penyiksaan serta pemenjaraan terhadap kaum muslim semakin merajalela. Mereka dipaksa untuk meninggalkan agama barunya. Melihat hal ini, rasulullah bersabda kepada para sahabat, “Bertebaranlah kalian di muka bumi!” Para sahabat bertanya, “Kemana, wahai Rasul ?” rasul menjawab, “Ke Habasyah!”.
Rasul meminta kepada Raja Ethiopia, Raja Negus, agar kaum muslim diizinkan untuk pindah ke negerinya. Negus memberikan izin dan dia menolak permintaan dari Kaum Jahiliyah untuk menyerahkan umat muslim kepada penguasa Makkah. Berangkatlah sebelas orang lelaki dan empat orang perempuan pada April 615 M hijrah ke Habasyah. Mereka pergi dengan mengendarai dua perahu dagang.
Banyak cara dan taktik yang dilakukan Kaum Jahiliyah Makkah terhadap nabi serta para pengikutnya. Antara lain pelecehan, hinaan, paksaan, penyiksaan, penganiayaan, pemenjaraan, pengisolasian, embargo bahkan sampai pemboikotan. Pada Mei 616 M, Rasulullah SAW berserta klan Hasyim mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari kaum jahiliyah. Mereka dikurung di Lembah atau Syi’ib Abu Thalib selama tiga tahun lamanya.
Selama masa pengurungan ini, kaum jahiliyah membuat selebaran yang berisi, bahwa kaum jahiliyah tidak boleh menikah dengan anggota keluarga Bani Hasyim, mereka juga tidak boleh melakukan jual beli dengan keluarga Bani Hasyim, serta anggota keluarga Bani Hasyim tidak boleh keluar dari Lembah Abu Thalib kecuali untuk melakukan umrah di bulan Syawal atau berhaji di bulan haji.
Anggota Bani Hasyim sendiri yang dikurung di lembah tersebut tidak hanya dari golongan Islam, tetapi juga dari golongan non-Islam. Antara lain penganut Islam yang dikurung di lembah tersebut adalah paman rasul bernama Hamzah bin Abdul Muththalib,sepupu rasul bernama Ali bin Abi Thalib, Ubaidah bin Harits bin Abdul Muththalib yang juga sepupu Rasul. Pada 620 M, satu tahun setelah masa pemboikotan terhadap rasul, beliau kehilangan orang yang paling dicintainya dan paling dekat  padanya yaitu pamannya, Abu Tahlib. Kemudian tiga bulan berikutnya disusul dengan meninggalnya Khadijah.
Dalam melakukan shalat pun nabi sering mengalami hal yang tidak menyenangkan, salah satunya pernah dilempari rahim domba. Serta pada saat beliau sedang menanak nasi, tempat menanaknya dilempari oleh orang-orang jahiliyah. Karenanya, apabila rasul sedang melakukan shalat beliau melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.
Setelah pamannya wafat dan sebelum hijrah ke Madinah, perlakuan buruk terhadap nabi semakin menjadi-jadi. Pernah pada satu masa, saat nabi hendak pulang, kaum jahiliyah menyiram kepala beliau dengan pasir. Ketika nabi masuk rumah dengan kepala penuh  pasir, seorang putrinya langsung membersihkan kepalanya sambil menangis. Melihat hal ini rasulullah bersabda kepadanya, “Putriku sayang, janganlah menangis. Allah akan melindungiku. Kaum Quraisy tak berani melakukan apapun sampai Abu Thalib meninggal dunia.”
Sejak Abu Thalib meninggal dunia, pimpinan terhadap Klan Hasyim dipegang oleh Abu Lahab saudaranya. Pada masa kepemimpinannya, perlindungan terhadap nabi dihentikan. Melihat hal ini kaum jahiliyah semakin berani melakukan aksinya untuk membunuh rasul. 
Melihat hal ini, tanpa kenal lelah rasul berusaha menemui tokok-tokoh bangsa Arab untuk memperkenalkan diri serta meminta bantuan perlindungan kepada mereka. Tiga tahun sebelum hijrah (Mei 620 M), bulan Syawal ketika nabi beserta Ali bertolak ke Tha’if. Perjalanan ini ditempuh dalam dua hari. Ketika tiba di Tha’if, kembali beliau mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan. Rasul dilempari dengan bebatuan hingga kepalanya berdarah, sedangkan Ali mati-matian melindunginya. 
Di Tha’if, Rasul tinggal selama sepuluh hari. Kemudian setelah mengislamkan seorang budak Kristen yang bekerja di salah satu perkebunan, beliau kembali ke Makkah. Perjalanan dilanjutkan rasul bersama Ali mengunjungi Klan Sha’sha’ah. Beliau tinggal di sana selama sepuluh hari, tetapi kemudian memutuskan untuk pulang karena tidak mendapat dukungan di sana.
Kemudian, beliau menuju Klan Syaiban, beliau tinggal selama tiga belas hari di sana untuk memohon perlindungan dari mereka. Tetapi mereka pun tidak mau menolong beliau. Selama sebelas tahun rasulullah diutus, tak seorang pun yang mau menerima Islam. Rasul tidak pernah lelah dan berhenti menemui mereka baik perorangan mau pun perkelompok untuk mengajak mereka memeluk Islam. Baru dua bulan setelah kembali dari Tha’if ( 19 Juli 620 M) persis dua tahun sebelum hijrah, ada enam orang yang bersedia menerima ajakan rasul.

Dua tahun kemudian, pada musim haji (9 Juli 621 M) di tengah hari Tasyriq’ pada jalan setapak dekat lereng bukit dari Makkah ke Mina, rasul berbicara pada orang Yastrib yang sedang melakukan haji. Mereka terdiri atas dua puluh orang, dua orang dari Klan ‘Aus sementara sisanya dari Klan Khazraj. Di tempat tersebut, mereka membuat perjanjian yang isinya antara lain; untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak boleh berzinah, tidak boleh memfitnah tetangga, dan tidak boleh membantah perintah rasul. Di sinilah tempat terjadinya baiat Aqabah pertama.

Sehari setelah mereka pulang ke Madinah, nabi mengutus seorang guru mengaji dan sekaligus mengajarkan Islam. Dia adalah Mush’ab bin Hsyim bin Abdul Manaf. Mush’ab merupakan sepupu Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim ayah nabi. Menurut riwayat, setelah satu tahun Mush’ab diutus di Madinah, terdapat satu atau lebih muslim atau muslimat pada setiap rumah penduduk di sana. Dia dikenal sebagai ahli dakwah yang sangat sabar, dan sagat meneladani sikap rasulullah. Mush’ab meninggal dunia empat tahun kemudian pada Perang Uhud.


Tiga bulan sebelum rasulullah hijrah pada 24 September 622 M, ada 73 orang lelaki dan wanita penduduk Yatsrib datang untuk dibaiat oleh rasul. Sebagaimana baiat Aqabah pertama, baiat Aqabah kedua ini pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi pada tengah malam. Sebelum membaiat, mereka sebenarnya sudah memeluk Islam melalui Mush’ab dan penduduk Yastrib yang setahun sebelum dibaiat rasul pada baiat Aqabah pertama. Perjalanan dakwah rasul benar-benar penuh perjuangan, tapi karena keteguhan iman dan keyakinannya kepada Allah, semua dijalani beliau dengan rela dan iklhlas.[]Moch. Mufti Al-chakim.
Read full post »
 

Copyright © Blog Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger