Minggu, 17 November 2013

Gerakan Dakwah Mahasiswa Salah Satu Pilar Bangkitnya Kejayaan Peradaban Islam


Mahasiswa Sebagai Pionir Perubahan
Belakangan ini semakin hari semakin banyak permasalahan yang terjadi pada tubuh pemerintah dan kepemimpinannya yang berimbas pada terganggunya ketentraman dan ketenangan hidup masyarakat. Era demokrasi semakin menuntut kebebasan dari masyarakat untuk bersuara menyuarakan aspirasinya kepada pemerintah. Sayangnya, aspirasi masyarakat kadangkala hanya dianggap sebagai angin lalu oleh pemerintah di tengah carut marutnya birokrasi Indonesia. Hanya sedikit golongan yang bisa menembus benteng pemerintah dan mengawali perubahan. Kelompok itu kita sebut saja salah satunya adalah intelektual muda atau mahasiswa. Mahasiswa selalu menjadi bagian dari perjalanan sebuah bangsa. Roda sejarah selalu menyertakan mahasiswa sebagai pelopor, penggerak, bahkan sebagai pengambil keputusan. Masalah ini telah terjadi di berbagai negara di dunia, baik di Timur maupun di Barat.
Mahasiswa biasanya memerankan diri sebagai golongan yang kritis sekaligus konstruktif terhadap ketimpangan sosial dan kebijakan politik, ekonomi. Mahasiswa sangat tidak toleran dengan penyimpangan apapun bentuknya dan nurani mereka yang masih relatif bersih dengan sangat mudah tersentuh sesuatu yang seharusnya tidak terjadi namun ternyata itu terjadi atau dilakukan oleh oknum atau kelompok tertentu dalam masyarakat dan pemerintah. Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan mengangkat realita sosial yang terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara mereka sendiri. Menurut Ridarmin S.Kom, M.Kom[1] dalam hal ini, secara umum mahasiswa menyandang tiga fungsi strategis, yaitu:
  1. Sebagai penyampai kebenaran (agent of social control)
  2. Sebagai agen perubahan (agent of change)
  3. Sebagai generasi penerus masa depan (iron stock)
Sedangkan menurut Arbi Sanit, 2008,[2] ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam kehidupan berbangsa, yaitu:
  1. Sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat.
  2. Sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang di antara angkatan muda.
  3. Kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari.
  4. Mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.
Intelektual muda identik dengan kreativitas dan solusi. Dalam hal itu, mahasiswa dituntut untuk dapat berperan lebih nyata terhadap perubahan atau paling tidak menjadi pendorong dari sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Universitas Islam Indonesia sebagai salah satu pergruan Tinggi Islam yang dirancang dan didirikan oleh para tokoh Agama dan tokoh Nasional saat itu, dengan maksud untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia memiliki keempat karakter di atas plus kemampuan keagamaan yang kuat yang mampu mewarnai dalam kehidupannya.
Posisi sebagai pionir perubahan sudah pasti bersifat sementara karena kelak di kemudian hari mahasiswa tidak lagi tetap menjadi mahasiswa dan mereka justru menjadi pelaku-pelaku inti dalam kehidupan suatu negara atau masyarakat. Ironisnya, seringkali gerakan mahasiswa yang baru saja dibahas sepertinya tidak mempunyai visi yang jelas serta kehilangan konsep. Itu semua disebabkan karena kesadaran mahasiswa akan suatu gerakan belum sepenuhnya terbuka dan bahkan cenderung bersifat euforia. Hanya beberapa mahasiswa saja yang benar-benar konsisten serta matang dalam menggagas gerakan pembaharuan. Bahkan terkadang mereka melakukan demonstrasi yang anarkis. Maka dalam tulisan ini penulis memberikan saran bahwasanya demonstrasi memang tetap penting dalam negara demokrasi, namun demonstrasi yang diinginkan adalah demonstrasi dengan tertib, tidak anarkis, dan benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat bukan alat satu kelompok atau golongan tertentu.
Mahasiswa sebagai calon pemimpin dan pembina pada masa depan ditantang untuk memperlihatkan kemampuan untuk memerankan peran itu. Jika gagal akan berdampak negatif pada masyarakat yang di pimpinnya demikian pula sebaliknya. Dalam perubahan sosial yang hebat saat ini, mahasiswa sering dihadapkan pada kenyataan yang membingungkan dan dilematis. Suatu pilihan yang teramat sulit harus ditentukan, apakah ia terjun dalam arus perubahan sekaligus mencoba mengarahkan dan mengendalikan arah perubahan itu ataukah sekedar menjadi pengamat dan penonton dari perubahan atau mungkin justru menjdi korban obyek sasaran dari perubahan yang dikendalikan oleh orang lain.
Melihat realitas dan tantangan di atas, mahasiswa memiliki posisi yang sangat berat namun sangat strategis dan sangat menentukan. Sekarang bukan zamannya lagi untuk sekedar menjadi pelaku pasif atau menjadi penonton dari perubahan sosial yang sedang dan akan terjadi tetapi harus mewarnai perubahan tersebut dengan warna masyarakat yang akan dituju dari perubahan tersebut yaitu masyarakat yang adil dan makmur baldatun thoyyibatun warabbun ghafûr di bawah naungan NKRI.
Pergeseran Peran Mahasiswa
Di era modern dan globalisasi ini, di mana seluruh dunia turut serta menukar maupun menawarkan budaya, bahasa, serta ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan entah apakah karena peng-global-an itu kita jarang sekali menemukan kata “peduli (carrying)” dalam kosakata keseharian kita. Atau mungkin rasa kebanggan sebagai bangsa timur yang sarat dengan adat dan etika itu hilang ditelan globalisasi yang makin carut marut? Mungkin sebagian umum banyak orang yang tahu apa itu “peduli”, tapi yang tertanam di diri mereka hanyalah wacana, sekedar tahu tapi tak memahaminya. Indonesia dikenal dengan keberagamannya mulai dari suku, bahasa, dan budaya!
Sungguh luar biasa pendahulu kita itu, pemuda yang tak kenal takut, berkata satu meski tumpah darah pun taruhannya. Sejak itu kita bisa tahu gerakan pemuda di Indonesia dimulai dengan Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Hingga istilah pemuda tersebut mengalami pergesaran arti dengan sebutan mahasiswa, sosok yang memiliki kadar intelektual tinggi. Hal ini sah-sah saja karena untuk mengadakan perubahan bangsa tidak cukup dengan semangat ‘muda’ namun dituntut juga dengan intelektual plus ilmu keagamaan bagi mahasiswa UII, yang mumpuni dan yang menjadikan nilai lebih mahasiswa adalah gerakan mereka relatif bebas dari berbagai intrik politik. Sebut saja kedudukan, jabatan dan bahkan kekayaan.
Peran mahasiswa pada angkatan ‘66, ‘74 dan ‘98 telah memberikan label The Agent of Social Control. Apalagi perjuangan mereka tidak lain adalah penyalur lidah masyarakat yang tertindas pada masa rezim yang berkuasa saat itu. Kekuatan moral yang dibangun lebih disebabkan karena mahasiswa yang selalu bergerak secara aktif. Seperti dengan turun ke jalan demi berteriak menuntut keadilan dan pembelaan terhadap hak-hak wong cilik –orang kecil (ed.)-. Namun seiring perjalanan waktu gerakan mahasiswa akhir-akhir ini seperti kehilangan gregetnya, aksi-aksi penentangan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat tidak lagi mampu mengundang simpati mereka. Bahkan rakyat cenderung beranggapan ‘mahasiswa cuma bisa ngomong dan demo melulu’. Apalagi ditemukan beberapa kasus demo bayaran. Belum lagi perilaku-perilaku negatif kian marak dibawa sebagian mahasiswa ke dalam lingkungan sekitar kampus, sehingga dengan memukul rata, sehingga rakyat semakin yakin akan ‘kemunafikan’ mahasiswa.
Jadi di mana jiwa nasionalisme pemuda (baca: mahasiswa) saat ini? Mari kita buktikan kembali kejayaan seorang pemuda yang mampu menjadi Agent of Change! Mari kita lihat diri kita sendiri apakah moral kita sudah benar adanya? Atau hanya meneriakkan omong kosong yang hanya mampu memanaskan kuping rakyat di luar sana?

Reorientasi Peran Mahasiswa
Mahasiswa sebagai kaum intelektual muda, kini tengah berada di persimpangan. Antara perjuangan idealisme dan pragmatisme. Jargon sebagai agent of change and social control, kini mulai pudar seiring dengan berjalannya waktu. Jika kita membuka lembaran sejarah perjuangan kemerdekaan, maka akan kita jumpai di sana lembaran yang mengharumkan nama mahasiswa. Sekelompok kecil mahasiswa menempati posisi terdepan, yakni sebagai pelopor. Bahkan posisi kepeloporan tersebut menjadi amat eksklusif, hal ini disebabkan masih langkanya kekuatan sosial kepemudaan selain mahasiswa dimasa kebangkitan nasional tersebut. Bukan hanya itu, ketika kita membuka lembaran sejarah perjuangan pasca perang kemerdekaan, kita juga akan menjumpai beberapa lembaran yang kembali mengharumkan nama mahasiswa. Jatuhnya rezim orde lama dan orde baru pun tak lepas dari kepeloporan mahasiswa di garda depan perjuangan. Tidak berlebihan kiranya jika kemudian masyarakat mengklaim mahasiswa sebagai agent of change and social control, walaupun sesungguhnya yang harus mengontrol kondisi sosial dan melakukan perubahan adalah seluruh masyarakat, bukan hanya mahasiswa.
Namun peran mahasiswa sebagai agent of change and social control saat ini mulai pudar. Karakter pelopor perubahan yang seharusnya melekat pada diri mahasiswa mulai usang. Sedikit sekali peran nyata yang dapat dilakukan oleh mahasiswa. Sistem pendidikan yang hanya ingin menciptakan tenaga kerja siap pakai dan siap jual, yang hanya “menggiring” mahasiswa dengan how to know things (penalaran teoritis) daripada penguasaan aspek how to do things (keterampilan) menyebabkan munculnya pandangan-pandangan pragmatis di kalangan mahasiswa. Mahasiswa hanya mau tahu dengan apa yang sudah ada didepannya tanpa mau membuka kesadaran kritisnya dan tidak ingin melihat lebih dekat tentang apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan sosialnya. Djaduk Ferianto[3]  berpendapat sistem pendidikan saat ini seperti pabrik yang hanya mencetak kuantitas, bukan kualitas. Oleh karena itu banyak lulusan sarjana yang bekerja tidak sesuai dengan kompetensi atau jurusan yang diambil semasa kuliah.
Demikian halnya dengan Program Percepatan Kuliah (PPK) yang saat ini sedang digalakkan oleh perguruan tinggi termasuk UII. Efek negatif yang dapat timbul pada diri mahasiswa ialah IP minded atau lebih dikenal dengan istilah SO (Study Oriented). Mahasiswa terbuai dalam teori-teori kuliahnya serta harus berpikir bagaimana memecahkan teori atau soal untuk sekadar mengejar nilai A yang rutinitasnya dari kost, warung, kampus, kost warung kampus dan seterusnya tanpa mau memikirkan aplikasi yang dapat bermanfaat bagi lingkungan sosialnya. Terciptalah mahasiswa yang pandai berteori dengan penguasaan aplikasi yang tipis.
Mahasiswa hanya memikirkan bagaimana caranya agar lulus tepat waktu (4 tahun syukur kurang). Sehingga kegiatan-kegiatan kemahasiswaan berkurang. Unit-unit kegiatan mahasiswa yang sebelumnya diramaikan dengan aktivitas dan kreativitas mahasiswa, kini mulai ditinggalkan. Banyak mahasiswa yang berpotensi untuk menghasilkan produk-produk teknologi maupun penemuan lain tidak terberdayakan. Tidak sedikit mahasiswa yang mau tidak mau harus meninggalkan aktivitas organisasi, sehingga lulusan yang dihasilkan pun kurang berkualitas, kurang dapat bersosialisasi dan bekerjasama. Padahal hal tersebut sangat diperlukan pada setiap lingkungan sosial.
Reorientasi Peran
Memang setiap zaman memiliki tantangan yang berbeda, namun peran mahasiswa sebagai agent of change and social control tidak akan pernah berubah. Karakter pelopor perubahan harus tetap menjiwai diri mahasiswa dan tidak akan usang walau ditelan zaman. Rakyat masih memerlukan sentuhan kepedulian mahasiswa. Reformasi yang diteriakkan oleh mahasiswa, bahkan sampai menelan korban jiwa, hingga saat ini belum selesai. Mahasiswa merupakan iron stock (red. asset) bangsa dan negara dimasa depan, sesuai dengan jargon yang sering diutarakan, yakni student now leader tommorow. Oleh karena itu perlu adanya orientasi kembali peran mahasiswa saat ini untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin dimasa yang akan datang, sehingga perubahan yang dicita-citakan bersama dapat terwujud.
Rasulullah Sebagai Figur Teladan Mahasiswa Muslim
Rasulullah Muhammad s.a.w. telah memberikan keteladanan bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah S.W.T. dan yakin akan adanya hari akhir. Keteladanan tersebut mencakup seluruh perikehidupannya dimulai sejak beliau menerima wahyu pertama di Gua Hira sampai menghembuskan nafas yang mengakhiri perjuangannya di dunia. Hikmah-hikmah kebaikan yang dilakukannya bahkan sejak beliau belum menyandang status kerasulannya pun dapat kita teladani.
Hijrah yang dilakukan Rasulullah s.a.w. merupakan proses perpindahan geografis beliau s.a.w. dari satu kota (Mekah) ke kota lainnya (Yatsrib). Ia (Hijrah) terjadi pada tahun ke-3 sejak pemboikotan kaum Quraisy terhadap umat Islam yang pada saat itu merupakan tahun-tahun terberat perjuangan Nabi s.a.w., atau merupakan tahun ke-13 sejak ‘Iqra’ diturunkan kepadanya. Rasulullah s.a.w. berhijrah bersama seorang sahabat terdekatnya, Abu Bakar al-Shiddiq, melalui berbagai macam halangan dan rintangan dari kaum Quraisy saat itu.
Hijrah adalah sebuah momentum luar biasa penting yang dilakukan dalam penegakan peradaban Islam. Ia memiliki banyak sekali makna bagi perjuangan Rasulullah s.a.w. beserta para sahabatnya. Hijrah berarti pendeklarasian sebuah entitas haq (dalam hal ini yaitu umat Islam) yang berpisah tanpa sedikit pun beririsan dengan entitas kebatilan (kaum Mekah Quraisy jahiliy). Hijrah juga berarti sebuah nafas, cahaya, dan titik embun baru yang menyegarkan dan membangkitkan harapan besar serta optimisme umat Islam saat itu. Hijrah berarti dimulainya perjuangan dan kepemimpinan Islam atas umat manusia. Momentum Hijrah berarti berpindah dari buruk menjadi baik, dari lemah menjadi kuat, dari cerai menjadi satu, dari tertindas menjadi memimpin.
Terdapat peristiwa dan hikmah-hikmah dibelakang kesuksesan Hijrah Rasulullah s.a.w. Dimulai dari penyiapan Mush’ab ibn Umair yang dikirim ke Yatsrib untuk mempersiapkan para pendukung dakwah Rasulullah s.a.w. Lalu Baiat Aqobah pertama dan kedua untuk memastikan kesiapan entitas Yatsrib untuk dijadikan markas dakwah. Selain itu, peristiwa kesedihan yang menimpa Rasulullah s.a.w. karena wafatnya para pendukung terbaiknya dalam dakwah Islam dan ketidakadilan yang dialami umat Islam di Mekah menjadi sebuah motivasi insaniyah yang mendorong keinginan untuk merasakan kondisi kehidupan dan dakwah yang lebih baik. Dan pada akhirnya tentu faktor perintah Allah S.W.T. kepada Rasulullah s.a.w. untuk berhijrah dan atas berkah pertolongan Allah S.W.T. skenario Hijrah tersebut berjalan dengan sempurna.


[1] Ridarmin. 2008. Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan. Sumber: Internet
[2] Al-Muzammi, Abdullah. 2008. Peran dan Tanggung Jawab Mahasiswa dalam Lingkungan Sosial. Sumber: Internet.

[3] seorang seniman dan pengamat budaya asal Yogyakarta, informasi internet
[]M. Fathurrohman


0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © Blog Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger