Minggu, 17 November 2013

Gerakan Dakwah Mahasiswa Salah Satu Pilar Bangkitnya Kejayaan Peradaban Islam

0 komentar

Mahasiswa Sebagai Pionir Perubahan
Belakangan ini semakin hari semakin banyak permasalahan yang terjadi pada tubuh pemerintah dan kepemimpinannya yang berimbas pada terganggunya ketentraman dan ketenangan hidup masyarakat. Era demokrasi semakin menuntut kebebasan dari masyarakat untuk bersuara menyuarakan aspirasinya kepada pemerintah. Sayangnya, aspirasi masyarakat kadangkala hanya dianggap sebagai angin lalu oleh pemerintah di tengah carut marutnya birokrasi Indonesia. Hanya sedikit golongan yang bisa menembus benteng pemerintah dan mengawali perubahan. Kelompok itu kita sebut saja salah satunya adalah intelektual muda atau mahasiswa. Mahasiswa selalu menjadi bagian dari perjalanan sebuah bangsa. Roda sejarah selalu menyertakan mahasiswa sebagai pelopor, penggerak, bahkan sebagai pengambil keputusan. Masalah ini telah terjadi di berbagai negara di dunia, baik di Timur maupun di Barat.
Mahasiswa biasanya memerankan diri sebagai golongan yang kritis sekaligus konstruktif terhadap ketimpangan sosial dan kebijakan politik, ekonomi. Mahasiswa sangat tidak toleran dengan penyimpangan apapun bentuknya dan nurani mereka yang masih relatif bersih dengan sangat mudah tersentuh sesuatu yang seharusnya tidak terjadi namun ternyata itu terjadi atau dilakukan oleh oknum atau kelompok tertentu dalam masyarakat dan pemerintah. Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan mengangkat realita sosial yang terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara mereka sendiri. Menurut Ridarmin S.Kom, M.Kom[1] dalam hal ini, secara umum mahasiswa menyandang tiga fungsi strategis, yaitu:
  1. Sebagai penyampai kebenaran (agent of social control)
  2. Sebagai agen perubahan (agent of change)
  3. Sebagai generasi penerus masa depan (iron stock)
Sedangkan menurut Arbi Sanit, 2008,[2] ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam kehidupan berbangsa, yaitu:
  1. Sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat.
  2. Sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang di antara angkatan muda.
  3. Kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari.
  4. Mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.
Intelektual muda identik dengan kreativitas dan solusi. Dalam hal itu, mahasiswa dituntut untuk dapat berperan lebih nyata terhadap perubahan atau paling tidak menjadi pendorong dari sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Universitas Islam Indonesia sebagai salah satu pergruan Tinggi Islam yang dirancang dan didirikan oleh para tokoh Agama dan tokoh Nasional saat itu, dengan maksud untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia memiliki keempat karakter di atas plus kemampuan keagamaan yang kuat yang mampu mewarnai dalam kehidupannya.
Posisi sebagai pionir perubahan sudah pasti bersifat sementara karena kelak di kemudian hari mahasiswa tidak lagi tetap menjadi mahasiswa dan mereka justru menjadi pelaku-pelaku inti dalam kehidupan suatu negara atau masyarakat. Ironisnya, seringkali gerakan mahasiswa yang baru saja dibahas sepertinya tidak mempunyai visi yang jelas serta kehilangan konsep. Itu semua disebabkan karena kesadaran mahasiswa akan suatu gerakan belum sepenuhnya terbuka dan bahkan cenderung bersifat euforia. Hanya beberapa mahasiswa saja yang benar-benar konsisten serta matang dalam menggagas gerakan pembaharuan. Bahkan terkadang mereka melakukan demonstrasi yang anarkis. Maka dalam tulisan ini penulis memberikan saran bahwasanya demonstrasi memang tetap penting dalam negara demokrasi, namun demonstrasi yang diinginkan adalah demonstrasi dengan tertib, tidak anarkis, dan benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat bukan alat satu kelompok atau golongan tertentu.
Mahasiswa sebagai calon pemimpin dan pembina pada masa depan ditantang untuk memperlihatkan kemampuan untuk memerankan peran itu. Jika gagal akan berdampak negatif pada masyarakat yang di pimpinnya demikian pula sebaliknya. Dalam perubahan sosial yang hebat saat ini, mahasiswa sering dihadapkan pada kenyataan yang membingungkan dan dilematis. Suatu pilihan yang teramat sulit harus ditentukan, apakah ia terjun dalam arus perubahan sekaligus mencoba mengarahkan dan mengendalikan arah perubahan itu ataukah sekedar menjadi pengamat dan penonton dari perubahan atau mungkin justru menjdi korban obyek sasaran dari perubahan yang dikendalikan oleh orang lain.
Melihat realitas dan tantangan di atas, mahasiswa memiliki posisi yang sangat berat namun sangat strategis dan sangat menentukan. Sekarang bukan zamannya lagi untuk sekedar menjadi pelaku pasif atau menjadi penonton dari perubahan sosial yang sedang dan akan terjadi tetapi harus mewarnai perubahan tersebut dengan warna masyarakat yang akan dituju dari perubahan tersebut yaitu masyarakat yang adil dan makmur baldatun thoyyibatun warabbun ghafûr di bawah naungan NKRI.
Pergeseran Peran Mahasiswa
Di era modern dan globalisasi ini, di mana seluruh dunia turut serta menukar maupun menawarkan budaya, bahasa, serta ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan entah apakah karena peng-global-an itu kita jarang sekali menemukan kata “peduli (carrying)” dalam kosakata keseharian kita. Atau mungkin rasa kebanggan sebagai bangsa timur yang sarat dengan adat dan etika itu hilang ditelan globalisasi yang makin carut marut? Mungkin sebagian umum banyak orang yang tahu apa itu “peduli”, tapi yang tertanam di diri mereka hanyalah wacana, sekedar tahu tapi tak memahaminya. Indonesia dikenal dengan keberagamannya mulai dari suku, bahasa, dan budaya!
Sungguh luar biasa pendahulu kita itu, pemuda yang tak kenal takut, berkata satu meski tumpah darah pun taruhannya. Sejak itu kita bisa tahu gerakan pemuda di Indonesia dimulai dengan Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Hingga istilah pemuda tersebut mengalami pergesaran arti dengan sebutan mahasiswa, sosok yang memiliki kadar intelektual tinggi. Hal ini sah-sah saja karena untuk mengadakan perubahan bangsa tidak cukup dengan semangat ‘muda’ namun dituntut juga dengan intelektual plus ilmu keagamaan bagi mahasiswa UII, yang mumpuni dan yang menjadikan nilai lebih mahasiswa adalah gerakan mereka relatif bebas dari berbagai intrik politik. Sebut saja kedudukan, jabatan dan bahkan kekayaan.
Peran mahasiswa pada angkatan ‘66, ‘74 dan ‘98 telah memberikan label The Agent of Social Control. Apalagi perjuangan mereka tidak lain adalah penyalur lidah masyarakat yang tertindas pada masa rezim yang berkuasa saat itu. Kekuatan moral yang dibangun lebih disebabkan karena mahasiswa yang selalu bergerak secara aktif. Seperti dengan turun ke jalan demi berteriak menuntut keadilan dan pembelaan terhadap hak-hak wong cilik –orang kecil (ed.)-. Namun seiring perjalanan waktu gerakan mahasiswa akhir-akhir ini seperti kehilangan gregetnya, aksi-aksi penentangan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat tidak lagi mampu mengundang simpati mereka. Bahkan rakyat cenderung beranggapan ‘mahasiswa cuma bisa ngomong dan demo melulu’. Apalagi ditemukan beberapa kasus demo bayaran. Belum lagi perilaku-perilaku negatif kian marak dibawa sebagian mahasiswa ke dalam lingkungan sekitar kampus, sehingga dengan memukul rata, sehingga rakyat semakin yakin akan ‘kemunafikan’ mahasiswa.
Jadi di mana jiwa nasionalisme pemuda (baca: mahasiswa) saat ini? Mari kita buktikan kembali kejayaan seorang pemuda yang mampu menjadi Agent of Change! Mari kita lihat diri kita sendiri apakah moral kita sudah benar adanya? Atau hanya meneriakkan omong kosong yang hanya mampu memanaskan kuping rakyat di luar sana?

Reorientasi Peran Mahasiswa
Mahasiswa sebagai kaum intelektual muda, kini tengah berada di persimpangan. Antara perjuangan idealisme dan pragmatisme. Jargon sebagai agent of change and social control, kini mulai pudar seiring dengan berjalannya waktu. Jika kita membuka lembaran sejarah perjuangan kemerdekaan, maka akan kita jumpai di sana lembaran yang mengharumkan nama mahasiswa. Sekelompok kecil mahasiswa menempati posisi terdepan, yakni sebagai pelopor. Bahkan posisi kepeloporan tersebut menjadi amat eksklusif, hal ini disebabkan masih langkanya kekuatan sosial kepemudaan selain mahasiswa dimasa kebangkitan nasional tersebut. Bukan hanya itu, ketika kita membuka lembaran sejarah perjuangan pasca perang kemerdekaan, kita juga akan menjumpai beberapa lembaran yang kembali mengharumkan nama mahasiswa. Jatuhnya rezim orde lama dan orde baru pun tak lepas dari kepeloporan mahasiswa di garda depan perjuangan. Tidak berlebihan kiranya jika kemudian masyarakat mengklaim mahasiswa sebagai agent of change and social control, walaupun sesungguhnya yang harus mengontrol kondisi sosial dan melakukan perubahan adalah seluruh masyarakat, bukan hanya mahasiswa.
Namun peran mahasiswa sebagai agent of change and social control saat ini mulai pudar. Karakter pelopor perubahan yang seharusnya melekat pada diri mahasiswa mulai usang. Sedikit sekali peran nyata yang dapat dilakukan oleh mahasiswa. Sistem pendidikan yang hanya ingin menciptakan tenaga kerja siap pakai dan siap jual, yang hanya “menggiring” mahasiswa dengan how to know things (penalaran teoritis) daripada penguasaan aspek how to do things (keterampilan) menyebabkan munculnya pandangan-pandangan pragmatis di kalangan mahasiswa. Mahasiswa hanya mau tahu dengan apa yang sudah ada didepannya tanpa mau membuka kesadaran kritisnya dan tidak ingin melihat lebih dekat tentang apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan sosialnya. Djaduk Ferianto[3]  berpendapat sistem pendidikan saat ini seperti pabrik yang hanya mencetak kuantitas, bukan kualitas. Oleh karena itu banyak lulusan sarjana yang bekerja tidak sesuai dengan kompetensi atau jurusan yang diambil semasa kuliah.
Demikian halnya dengan Program Percepatan Kuliah (PPK) yang saat ini sedang digalakkan oleh perguruan tinggi termasuk UII. Efek negatif yang dapat timbul pada diri mahasiswa ialah IP minded atau lebih dikenal dengan istilah SO (Study Oriented). Mahasiswa terbuai dalam teori-teori kuliahnya serta harus berpikir bagaimana memecahkan teori atau soal untuk sekadar mengejar nilai A yang rutinitasnya dari kost, warung, kampus, kost warung kampus dan seterusnya tanpa mau memikirkan aplikasi yang dapat bermanfaat bagi lingkungan sosialnya. Terciptalah mahasiswa yang pandai berteori dengan penguasaan aplikasi yang tipis.
Mahasiswa hanya memikirkan bagaimana caranya agar lulus tepat waktu (4 tahun syukur kurang). Sehingga kegiatan-kegiatan kemahasiswaan berkurang. Unit-unit kegiatan mahasiswa yang sebelumnya diramaikan dengan aktivitas dan kreativitas mahasiswa, kini mulai ditinggalkan. Banyak mahasiswa yang berpotensi untuk menghasilkan produk-produk teknologi maupun penemuan lain tidak terberdayakan. Tidak sedikit mahasiswa yang mau tidak mau harus meninggalkan aktivitas organisasi, sehingga lulusan yang dihasilkan pun kurang berkualitas, kurang dapat bersosialisasi dan bekerjasama. Padahal hal tersebut sangat diperlukan pada setiap lingkungan sosial.
Reorientasi Peran
Memang setiap zaman memiliki tantangan yang berbeda, namun peran mahasiswa sebagai agent of change and social control tidak akan pernah berubah. Karakter pelopor perubahan harus tetap menjiwai diri mahasiswa dan tidak akan usang walau ditelan zaman. Rakyat masih memerlukan sentuhan kepedulian mahasiswa. Reformasi yang diteriakkan oleh mahasiswa, bahkan sampai menelan korban jiwa, hingga saat ini belum selesai. Mahasiswa merupakan iron stock (red. asset) bangsa dan negara dimasa depan, sesuai dengan jargon yang sering diutarakan, yakni student now leader tommorow. Oleh karena itu perlu adanya orientasi kembali peran mahasiswa saat ini untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin dimasa yang akan datang, sehingga perubahan yang dicita-citakan bersama dapat terwujud.
Rasulullah Sebagai Figur Teladan Mahasiswa Muslim
Rasulullah Muhammad s.a.w. telah memberikan keteladanan bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah S.W.T. dan yakin akan adanya hari akhir. Keteladanan tersebut mencakup seluruh perikehidupannya dimulai sejak beliau menerima wahyu pertama di Gua Hira sampai menghembuskan nafas yang mengakhiri perjuangannya di dunia. Hikmah-hikmah kebaikan yang dilakukannya bahkan sejak beliau belum menyandang status kerasulannya pun dapat kita teladani.
Hijrah yang dilakukan Rasulullah s.a.w. merupakan proses perpindahan geografis beliau s.a.w. dari satu kota (Mekah) ke kota lainnya (Yatsrib). Ia (Hijrah) terjadi pada tahun ke-3 sejak pemboikotan kaum Quraisy terhadap umat Islam yang pada saat itu merupakan tahun-tahun terberat perjuangan Nabi s.a.w., atau merupakan tahun ke-13 sejak ‘Iqra’ diturunkan kepadanya. Rasulullah s.a.w. berhijrah bersama seorang sahabat terdekatnya, Abu Bakar al-Shiddiq, melalui berbagai macam halangan dan rintangan dari kaum Quraisy saat itu.
Hijrah adalah sebuah momentum luar biasa penting yang dilakukan dalam penegakan peradaban Islam. Ia memiliki banyak sekali makna bagi perjuangan Rasulullah s.a.w. beserta para sahabatnya. Hijrah berarti pendeklarasian sebuah entitas haq (dalam hal ini yaitu umat Islam) yang berpisah tanpa sedikit pun beririsan dengan entitas kebatilan (kaum Mekah Quraisy jahiliy). Hijrah juga berarti sebuah nafas, cahaya, dan titik embun baru yang menyegarkan dan membangkitkan harapan besar serta optimisme umat Islam saat itu. Hijrah berarti dimulainya perjuangan dan kepemimpinan Islam atas umat manusia. Momentum Hijrah berarti berpindah dari buruk menjadi baik, dari lemah menjadi kuat, dari cerai menjadi satu, dari tertindas menjadi memimpin.
Terdapat peristiwa dan hikmah-hikmah dibelakang kesuksesan Hijrah Rasulullah s.a.w. Dimulai dari penyiapan Mush’ab ibn Umair yang dikirim ke Yatsrib untuk mempersiapkan para pendukung dakwah Rasulullah s.a.w. Lalu Baiat Aqobah pertama dan kedua untuk memastikan kesiapan entitas Yatsrib untuk dijadikan markas dakwah. Selain itu, peristiwa kesedihan yang menimpa Rasulullah s.a.w. karena wafatnya para pendukung terbaiknya dalam dakwah Islam dan ketidakadilan yang dialami umat Islam di Mekah menjadi sebuah motivasi insaniyah yang mendorong keinginan untuk merasakan kondisi kehidupan dan dakwah yang lebih baik. Dan pada akhirnya tentu faktor perintah Allah S.W.T. kepada Rasulullah s.a.w. untuk berhijrah dan atas berkah pertolongan Allah S.W.T. skenario Hijrah tersebut berjalan dengan sempurna.


[1] Ridarmin. 2008. Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan. Sumber: Internet
[2] Al-Muzammi, Abdullah. 2008. Peran dan Tanggung Jawab Mahasiswa dalam Lingkungan Sosial. Sumber: Internet.

[3] seorang seniman dan pengamat budaya asal Yogyakarta, informasi internet
[]M. Fathurrohman


Read full post »

Senin, 11 November 2013

SEJARAH DAKWAH

0 komentar

BAB I

PENDAHULUAN

Kewajiban dakwah merupakan suatu kewajiban yang telah Allah perintahkan kepada kita semua sebagai umat islam untuk menyampaikan risalah kebenaran islam. Pada hakikatnya, dakwah bukan hanya kewajiban nabi ataupun para rosul yang mempunyai amanah khusus untuk menyampaikan setiap kebenaran dan ketauhidan Allah, namun juga menjadi kewajiban setiap umat islam yang mempercayai dan meyakini akan kebenaran islam sebagai Rahmatan lil alamin. Sehingga, islam tidak hanya dipandang dari satu sisi saja melainkan berbagai tinjauan yang akan mengantarkan kita kepada pemahaman yang menyeluruh. Dan salah satu media yang bisa kita gunakan untuk menyampaikan risalah kebenaran islam ialah melalui dakwah.

Dakwah islamiyyah sudah dimulai saat pertama kali Nabi Kita Muhammad menerima washilah ataupun tanggung jawab untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan dan kejahiliyyahan hidup yang pada saat itu telah mencapai klimaks kegelapan yang mencekam. Allah memerintahkan Rosulullah supaya menyampaikan kebenaran risalah tentang keesaan Allh. Bukan hanya itu, Rosulullah diperintahkan untuk mengenalkan aturan hidup yang jelas bagi umat manusia. Dan aturan-aturan hidup yang Allah maksudkan adalah islam sebagai dinnullah yang termaktub dalam konsep wahyu berupa Al-qur’an.

Perkembangan dakwah sejak wahyu pertama diturunkan kepada Nabi (Q.s Al-Alaq :1-5, Al-Mudatsir dan Al-Mujammil), merupakan awal dimulainya dakwah Rosul. Bagimana tidak, semenjak Rosulullah menerima legitimasi Allah akan kerasulannya, saat itu pula perjuangan dakwah Rosulullah dimulai. Tapi tentunya, Allah pun memerintahkan dakwah kepada Rosul secara bertahap dan tanpa mengandung unsur paksaan. Dimulai dengan dakwah secara syir (secara sembunyi) yang diperuntukkan kepada karib kerabat terdekat sampai dengan dimulainya dakwah secara terbuka untuk menyampaikan kebenaran yang sebenarnya. Tentunya, tidak serta merta kemudahan yang Rosul alami dalam menyampaikan kebenaran itu. Banyaknya cercaan, hinaan, tantangan, bahkan sampai dengan upaya pembunuhan terhadapnya, merupakan cerminan bagi kita betapa sulitnya dakwah yang Rosul lakukan untuk menyampaikan kebenaran terhadap umatnya. Dan alhasil, dengan tekad dan keyakinan Rosul-tanpa menyampingkan bimbingan wahyu yang Allah berikan kepadanya-, dalam kurun waktu yang relatif singkat sekitar 23 tahun agama islam bisa tersampaikan secara kaffah. Michael Hart dalam bukunya Seratus Tokoh yang  paling berpengaruh dalam sejarah, menempatkan nabi Muhammad dalam posisi pertama.

Setelah Rosulullah meninggal, tidak berarti dakwah pun berhenti sampai di situ. Melainkan sejak saat itu tanggung jawab dakwah dilanjutkan oleh para sahabat dan pengikutnya. Munculnya istilah Khulafaur Rasyidin, merupakan penerus risalah kenabian yang juga mempunyai peranan yang signifikan dalam menyampaikan dakwah islamiyyah.  Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib adalah keempat sahabat terdekat nabi yang senantiasa melanjutkan risalah kenabian dalam menyampaikan kebenaran. Di tangan kepemimpinan mereka dakwah islam berkembang begitu pesat, islam bisa mencapai puncak kejayaan sampai ke luar jazirah arab. Namun, saat itu pun tantangan dakwah tak kalah beratnya, banyak hambatan yang mereka hadapi untuk menyampaikan risalah tersebut. Baik itu hambatan di dalam umat islam sendiri, maupun hambatan dari para musuh islam yang begitu gencar menentang  risalah islam.

Terjandinya benturan firqah-firqah di kalangan umat islam saat itu ikut mewarnai perjuangan dakwah yang dilakukan oleh amirul mukminin. Setelah masa Khulafaur Rasyidin, dakwah islam diteruskan oleh Bani Umayah yang saat itu dipandang telah merebut kekuasaan atau kudeta terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Saat itu pula di kalangan umat islam semakin banyak terjadi perpecahan yang dikhawatirkan akan merusak ukhuwah umat islam sendiri. Namun, kecakapan dan keahlian politik yang dimiliki oleh Muawiyyah bisa meredakan berbagai macam gejolak pemberontakan yang ada. Dan sejarah mencatat, bahwasanya  dakwah pada masa Bani Umayah bisa mengantarkan islam ke luar Jazirah Arab, bahkan sampai ke Afrika dan Eropa. Saat itu pula ilmu pengetahuan baik agama ataupun umum berkembang dengan begitu pesatnya.

Dakwah adalah proses yang terus menerus akan dan harus dilakukan, tidak hanya  oleh Bani Umayah, melainkan semua umat islam senantiasa melaksanakan dakwah sebagai sebuah kewajiban dalam menyampaikan kebenaran islam yang sesungguhnya. Sampai sekarang pun ghiroh perjuangan dakwah islamiyyah  berada dalam setiap jiwa kaum muslimin. Karena mereka yakin bahwasanya kebenaran tak akan pernah bisa terkalahkan oleh kebatilan,  jikalau timbul kebutuhan akan kebenaran itu sendiri di kalangan umat islam.

Dan satu hal lagi, dakwah bukan saja kewajiban para ulama, melainkan kewajiban bagi setiap kaum muslimin. Bukan hanya milik para umaro, melainkan harus adanya kerja sama dari berbagai kalangan untuk mensukseskan dakwah islamiyyah ini. Sehingga, di akhir zaman kelak kemenangan islam benar-benar  bisa dirasakan. Firman Allah dalam Q.s Ali-Imran ayat: 104, 110, dan 159.

Begitu pesat perjalanan dakwah yang telah dilakukan oleh kaum muslimin, dan begitu banyak pula hambatan yang menerpa proses dakwah itu sendiri. Tidak hanya dulu, bahkan sekarang pun banyak hambatan yang menerjang umat islam untuk menyampaikan risalah islam yang kaafah. Banyaknya para penentang dakwah islam, jangan kita jadikan sebagai penghalang bagi kesuksesan dakwah kita melainkan harus kita jadikan sebagai media atau alat untuk meningkatkan ghiroh perjuangan dakwah yang kita lakukan.

Mengenai proses perjalanan sejarah dakwah, Dr.H.Syukriadi Sambas M.Si. dalam bukunya dimensi ilmu dakwah membagi periodesasi perkembangan dakwah dalam tiga kurun waktu yang berbeda, yaitu :

Periode klasik(650-1250M), yaitu masa kemajuan islam I (650-1000 M) dimana terjadi dalam 3 masa pemerintahan yaitu Khulafaur Rasyidin, Bani Umayah, dan Bani Abbas. Dan masa disintegrasi (1000-1250 M)
Periode pertengahan (1250-1800M), yaitu masa kemunduran I (1250-1500M)dan masa tiga kerajaan besar (1500-1800M)
Periode Post  Modern (1800-sekarang)
BAB II

PEMBAHASAN MASALAH

2.1 Sejarah Singkat Bani Umayah

Asal usul nama bani umayah itu berasal dari nama” Umawiyah ibnu Abdi Syams ibnu Abdi manaf”, yaitu salah seorang dari pemimpin kabilah Quraisy di zaman jahiliyyah. Dahulunya, umawiyah senantiasa bersaing dengan pamannya hasyim ibnu Abdi Manaf untuk merebut kekuasaan kaum arab quraisy saat itu.  Ada perbedaan yang mencolok antara Bani Umayah dengan Bani Hasyim, saat Nabi Muhammad mulai melakukan dakwah secara terbuka, keduanya menampilkan sikap yang berbeda. Bani Hasyim menjadi penyokong dan pendukung kuat –baik yang telah masuk islam ataupun yang belum- Rosulullah dalam menyampaikan risalah kenabiannya. Banyak dari kalangan Bani  Hasyim yang  termasuk golongan Asabiquna Al-awalun dalam menerima dakwah Rosul. Salah satunya adalah Ali bin Abi Thalib. Namun, Bani Umayah menampilkan sikap yang sebaliknya, ia menjadi penantang keras dakwah Rosulullah SAW. Artinya, sejak awal risalah Islam ada sebuah kontradiksi yang terjadi antara Bani Umayah dan Bani Hasyim, padahal keduanya berasal dari satu keturunan orang sama yaitu Abdu Manaf.  Kalau Bani Hasyim menjadi pendukung utama Dakwah Rosul, tetapi Bani Umayah sebaliknya menjadi penentang keras dakwah Rosul. Ini meng-indikasi-kan bahwasanya dakwah merupakan  sebuah  proses yang berkesinambungan yang tak bisa dipaksakan.

Tercatat bahwa Bani Umayah mulai bisa menerima dakwah Islam ketika terjadinya Futuh atau fathuh Makkah. Saat itu, Bani Umayah tidak menemukan jalan lain selain memasukinya-memasuki agama islam-. Kita tidak mengetahui secara pasti apa motif yang menyebabkan Bani Umayah menerima Islam, apakah karena memang mereka sudah yakin akan kenabian dan kerosulan Muhammad? Ataukah hanya karena mereka takut dan tidak menemukan  jalan  yang  lainnya  untuk  menyelamatkan  kabilahnya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Bani Umayah merupakan golongan terakhir yang masuk Islam. Namun, perlu diingat bahwa setelah mereka masuk Islam, sejak saat itu pula ghirah yang mereka tunjukkan begitu hebat dalam memperjuangkan dakwah Islamiyyah, seolah-olah mereka ingin membalas semua kebodohan dan penentangan yang dulu mereka lakukan terhadap islam. Dan terbukti, saat itu Bani Umayah menjadi pedang-pedang tajam umat islam dalam menyampaikan Risalah Islam. Sejak zaman Nabi, Khulafaur Rasyidin, sampai dengan kekhalifahan mereka sendiri, Bani Umayah mencatat berbagai prestasi  gemilang dalam dakwah Islam. Mulai dari memerangi orang-orang murtad, nabi palsu, dan orang munafik yang tak mau membayar zakat (saat pemerintahan Abu Bakar) sampai dengan perluasan dakwah islam ke luar jazirah Arab, bahkan sampai ke Afrika dan Eropa. Dan memang Bani Umayah mempunyai keahlian politik yang unggul dan jiwa kepemimpinan yang hebat. Terbukti banyak dari kalangan Bani Umayah yang sering kali menduduki jabatan penting saat kekhalifahan khulafaur Rasyidin. Misalnya, Muawiyyah yanag sering kali didaulat menjadi Gubernur Syam baik pada masa Khalifah Umar ataupun Utsman. Sejarah mengatakan bahwa hampir 20 tahun Muawiyyah menduduki jabatn gubernur Syam. Ini menunjukkan bahwa memang layak Bani Umayah dijadikan sebagai pigur kepemimpinan islam yang sukses.

Namun, sering kali kita menilai kekhalifahan Bani Umayah sebagai kekhalifahan yang dihasilkan dari sebuah kudeta dari pemberontakan yang mereka lakukan tehadap Amirul’mukminin Ali bin Abi Thalib. Bahkan ada satu golongan yang mengkafirkan Bani Umayah sebagai golongan bughot  yang harus diadili. Padahal, begitu banyak jasa yang telah mereka lakukan terhadap dakwah Islam, seperti yang telah diuraikan di atas. Memang, secara politik Muawiyyah seolah-oleh merebut jabatan Khalifah yang seharusnya dipegang oleh Ali bin Abi Thalib yang telah lebih dulu masuk Islam. Namun, kita jangan terjebak pada pemikiran yang picik dari satu aspek saja menilai seseorang atau suatu golongan, terbukti dengan kepemimpinan dan kekhalifahan yang telah dipegang oleh Bani Umayah bisa mengantarkan dakwah islam jauh ke luar jazirah Arab. Bahkan dalam perkembangannya sejarah dakwah islam pada masa Bani Umayah telah mencapai Afrika dan Eropa. Serta didukung oleh perkembangan islam saat itu di berbagai bidang. Baik itu ilmu pengetahuan, budaya, seni, politik, militer, dll.

Singkatnya, dapat kita katakan bahwa dakwah islam pada masa Bani Umayah begitu urgen  dan intens dilakukan sebagai bentuk perjungan dan keyakinan mereka terhadap  risalah  islam yang  membawa keselamatan  dan  rahmat  bagi  seluruh  Alam.

2.2 Kondisi  Kaum Muslimin pada  Masa Bani Umayah

Benturan firqah-firqah di kalangan umat islam sudah terjadi dimulai ketika wafatnya Rosulullah SAW, khususnya dalam dunia politik. Saat itu umat islam disudutkan pada permasalahan seputar pengganti Nabi Muhammad sebagai Amirul’mukminin. Antara layak dan tidak layak menjadi seorang khalifah. Kaum muslimin saat itu saling mengklaim satu sama lain bahwasanya dari setiap golongan mereka lah yang berhak menggantikan Nabi sebagai Amirul’mukminin. Mula-mula ikhtilaf terjadi antara kaum muhajirin dan Anshor, tapi dengan prinsip musyawarah yang diterapkan Nabi, akhirnya permasalahan itu bisa terselesaikan. Namun, saat itu muncul pula pemberontakan dari kaum muslimin yang murtad yang menganggap bahwa dakwah Islam telah berakhir seiring dengan wafatnya Nabi. Muncul pula nabi palsu yang mengaku sebagai pengganti Muhammad, dan terakhir munculnya orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Lantas, firqah atau ikhtilaf itupun tidak berakhir sampai disitu saja, pada zaman Umar pun terjadi hal yang sama, namun karena kemahiran Umar dalam memimpin, segala bentuk firqah saat itu bisa dibinasakan dan tercatat saat itu dakwah Islam begitu jaya dirasakan. Pada zaman Utsman terjadi berbagai bentuk bughot atau pemberontakan terhadap Amirul’mukminin, mereka menganggap bahwa kekhalifahan Utsman adalah kekhalifahan yang lemah dan tidak sah. Bahkan saat itu, Khalifah Utsman mati terbunuh oleh golongan yang tidak menginginkannya sebagai khalifah. Pada saat itu dakwah islam begitu kentara terasa, hal yang paling bisa kita rasakan dari kekhalifahan Utsman ialah pembukuan Al-qur’an yang dilakukannya secara resmi. Dan firqah yang begitu kuat terjadi adalah pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Sejak saat itu umat islam terbagi menjadi berbagai sekte aliran yang satu sama lain saling mengkafirkan. Saat itulah awal kemunculan ikhtilaf permasalahan seputar aqidah dengan munculnya para pengikut syiah, khawarij, murji’ah, muktazilah, dll. Kami menyimpulkan bahwasanya firqah yang terjadi saat itu ialah berawal dari kekuasaan politik mengenai jabatan khalifah yang ingin diduduki.  Muawiyyah dengan kelincahan berpolitiknya dibantu oleh Amru bin Ash yang juga mahir dan cerdik berhasil mengelabui Ali bin Abi Thalib dan pasukannya untuk menyerahkan jabatan Khalifah. Dan saat itulah dimulai benturan firqah berdasarkan pada masalah teologis yang dihadapi.

Sejak Muawiyyah menduduki jabatan khalifah, pemberontakan terjadi dimana-mana. Tidak semua kaum muslimin mengakui dirinya sebagai khalifah.  Muawiyyah dianggap telah melakukan kudeta terhadap kekhalifahan Ali, dan kemudian ia menerapkan sistem monarchi dalam kekhalifahan Islam. Ia menginginkan jabatan khalifah yang langgeng bagi semua keturunannya. Bahkan Nicolson - seorang orientalis – mengatakan bahwa kemenangan Muawiyyah terhadap Ali adalah kemenangan Aristokratis-Watsaniyyah[1].

Saat itu umat islam terpecah menjadi beberapa sekte aliran, misalnya golongan syiah – pengikut Ali – yang  melakukan pemberontakan terhadap Muawiyyah, golongan Khawarij yang mengkafirkan Ali beserta pengikutnya dan juga Muawiyyah beserta pengikutnya. Dan berbagai bentuk pemberontakan yang lainnya. Namun, Muawiyyah tidak terpaku pada segala bentuk pemberontakan itu. Ia berjuang keras menumpas segala bentuk pemberontakan yang terjadi, dan saat situasi sudah membaik ia kembali melakukan dakwah  sebagai  bentuk  kewajiban  terhadap  umat  islam.

Di tengah carut-marutnya perpolitikan saat itu dan berbagai pemberontakan yang terjadi, Muawiyyah mulai melakukan pembangunan di berbagai aspek kehidupan. Saat itu dakwah Bani Umayah terfokus pada bidang kebudayaan dan politik. Aspek kehidupan yang ia jadikan sebagai bentuk dakwah ialah mengembangkan Ilmu pengetahuan. Pada masa Bani Umayah Ghiroh memperdalam Ilmu pengetahuan tidak hanya dilakukan dalam bentuk memahami Al-qur’an dan Sunnah, memperdalam akhlak, aqidah, muamalah, dll, tetapi juga dakwah yang dilakukan dalam bidang ini ialah mulai merambah ilmu pengetahuan umum yang telah dikembangkan oleh bangsa-bangsa sebelumnya, seperti Yunani, Romawi, dll. Baik itu, dalam bidang Bahasa, sejarah, filsafat, dan saintific[2].

Adapun dakwah Bani Umayah dalam bidang Politik dan Militer mencakup ekspansi wilayah di luar jazirah Arab. Perluasan wilayah islam telah sampai ke negara Asia, Afrika, bahkan Eropa. Artinya, politik luar negeri yang dilakukan Bani Umayah sukses dilakukan dan saat itu Bani umayah .

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa dakwah yang dilakukan Bani Umayah telah mencakup berbagai aspek, di tengah berbagai pemberontakan dan firqah yang terjadi pada awal pemerintahannya. Tapi dengan kecakapan politik dan kepemimpinannya, ia berhasil membawa islam ke luar jazirah Arab dan perkembangan Ilmu pengetahuan yang begitu signifikan.

2.3 Gerakan Dakwah pada Masa Bani Umayah

Kekuasaan Bani Umayah berumur kurang lebih 90 tahun dan di zaman ini ekspansi yang terhenti di zaman kedua khalifah terakhir dilanjutkan.  Khalifah-kahalifah besar yang telah membawa dakwah islam ke dalam kejayaan di antaranya : Muawiyyah bin Abi Sufyan (661-680 M), Abd Malik Ibn Marwan (685-705 M), Al-Walid Ibn Al-Malik (705-715 M), Umar bin Abd Al-Aziz (717-720 M) dan Hisyam Ibn Abd Al-Malik (724-743 M)[3]. Begitu banyak kesuksesan dan kejayaan dakwah islam saat itu. Pertanyaannya, gerakan dakwah  apa  yang  telah  dilakukan  Bani Umayah  untuk  mensyiarkan  Islam?

Dalam buku pengantar sejarah Dakwah, karangan Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni, gerakan dakwah yang dilakukan oleh Bani Umayah dapat diklasifikasikan dalam beberapa bidang, yaitu :

A. Gerakan Ekspansi Dakwah
Gerakan ekspansi dakwah yaitu gerakan dakwah yang dilakukan dengan membuka wilayah dakwah baru. Pada periode ini kawasan islam semakin luas, ajaran islam semarak dan menyelinap di hati rakyat.  Eksistensi islam dirasakan bukan hanya di daerah Syam, Syiria, Mesir, Sudan, Afrika Utara, dll, tapi juga sudah mulai merambah kawasan Eropa yaitu di daerah Andalusia. Gerakan ekspansi ini merupakan bagian dari politik luar negeri Bani Umayah dalam memperluas daerah dakwan islam. Perluasan dakwah tersebut dilakukan di tiga kawasan, yaitu :

Asia kecil dan Negeri Romawi, pada saat ekspansi wilayah ini kaum muslimin bertolak dari ibukota Dimasyq menuju laut tengah dengan menggunakan armada laut yang begitu banyak, sekitar 1700 kapal.
Kawasan Afrika Utara dan Andalusia, Uqbah bin Nafie yang melanjutkan aktivitas dakwahnya pada masa Utsman bin Affan. Di zaman Muawiyyah ia menundukkan kota Tunis dan mendirikan kota Qairawan yang menjdai pusat peradaban Islam saat itu. Sementara ekspansi ke barat (Andalusia) dilakukan  pada zaman Al-walid, dimana Musa bin Nushair dan Thoriq bin Ziyad berhasil menyebrangi selat Giblaltar  untuk  menaklukan  Andalusia.
Kawasan Sind dan Negeri di Seberang Sungai.
Namun, gerakan dakwah seperti ini kemudian melemah seiring dengan kemunduran dan  kelemahan Bani Umayah di penghujung  pemerintahannya.

B. Dakwah Di Bidang Kajian Dan Penulisan Ilmiah
Gerakan dakwah di bidang Ilmu pengetahuan begitu gencar dilakukan. Bukan hanya ilmu pengetahuan agama yang berkembang melainkan juga ilmu pengetahuan umum dan filsafat. Diceritakan bahwa cucu Muawiyyah, Khalid bin Yazid, begitu menyenangi kedokteran dan kimia. Sehingga saat itu pusat-pusat pengkajian dan penulisan ilmiah begitu  mudah  ditemukan.

Gerakan ilmiah ini selalu bersamaan dengan gerakan futuhat islamiyyah. Yaitu gerakan dakwah kombinasi yang dilakukan antara para umaro dan ulama. Setiap kali terjadi penundukkan wilayah baru, saat itu pula adanya proses tindak lanjut dari para ulama dalam mengajarkan fiqh,  syariah, hadits, tafsir, dll. Pada saat khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintah, ilmu pengetahuan berkembang semakin pesat dan banyak melahirkan para ilmuwan-ilmuwan muslim. Adanya halaqah-halaqah islamiyyah semakin mengukuhkan gerakan dakwah di bidang ini.

Pakar sejarah menyebutkan bahwa banyaknya para mawali (budak yang dimerdekakan) yang memberikan kontribusi yang besar tehadap islam. Salah satunya yanag terkenal ialah Hasan  Bashri.

C. Memakmurkan Masjid Dengan Kajian Keagamaan
Pada masa ini gerakan profesionalitas dalam dakwah sudah mulai kelihatan. Banyaknya halaqah-halaqah kajian ilmiah semakin mengukuhkan gerakan dakwah Bani Umayah. Banyaknya forum pengkajian islam di masjid-masjid semakin  menjadikan gerakan dakwah mudah dilakukan.

D. Pemurnian Dan Penggalakan Berbahasa Arab
Saat itu, bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa resmi negara. Luasnya kekuasaan dan daerah dakwah Bani Umayah, mengharuskan umaro dan ulama saat itu mengembangkan dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara yang digunakan sebagai bahasa pengantar dan penulisan ilmu-ilmu pengetahuan. Banyak sekali buku-buku pengetahuan yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

E. Pengumpulan, Penulisan, Dan Peletakan Dasar-dasar Metodologi Hadits
Penulisan hadits di masa Rosulullah dilarang untuk dilakukan. Mengapa demikian? Karena saat itu untuk menjaga kemurnian al-qur’an agar tidak tercampur dengan hadits-hadits nabi.

Perhatian masyarakat terhadap hadits begitu tinggi sekali pada masa Bani Umayah. Bentuk kepedulian itu diwujudkan dalam tiga kegiatan yaitu pengkajian, pengumpulan, dan pembukuan hadits.

Pengkodifikasian dan pembukuan hadits ini secara resmi dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H). Mengapa Khalifah Umar bin Abd Aziz membuat kebijakan  yang  berbeda dengan  khalifah  islam  yang  lainnya?

Drs.Fatchur Rahman, dalam bukunya Ikhtisar Mushtalahul Hadits menyatakan bahwa Ada beberapa motif yang menjadi inisiatif Khalifah Umar bin Abd Aziz untuk melakukan itu, di antaranya :

Kemauan kuat beliau untuk membukukan hadits dan kekhawatiran akan hilangnya hadits;
Kemauan beliau untuk membersihkan dan memelihara hadits dari hadits-hadits maudlu;
Alasan tidak  terdewannya hadits secara resmi pada zaman Rosulullah dan khulafaur rasyidin;
Selain gerakan-gerakan dakwah yang telah disebutkan di atas, gerakan dakwah lain pun dilakukan pada masa Bani Umayah, berupa pembangunan fisik dalam bidang arsitektur, seperti masjid-masjid, dengan adanya perbaikan  masjid  madinah dan  mekkah.

Di bidang seni pun dakwah dilakukan dengan munculnya penyair-penyair Arab seperti Umar  ibn  Abi  Rabi’ah, Qays  ibn  Mulawwan  yang  lebih  dikenal  dengan Majnun Laila.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dakwah islam saat itu sudah bersifat internasional, meliputi tiga benua : Asia, sebagian Afrika, dan Sebagian Eropa. Penduduknya meliputi puluhan bangsa dan disatukan dengan bahasa Arab sebagai bahasa pemersatu dan agama  islam sebagai agama resmi negara[4]

Ini berarti, dakwah pada masa Bani Umayah, telah mencapai proses Dakwah subuiyyah  wa qabaailiyyah (dakwah antar bangsa dan suku).

2.4 Dakwah Umayah di Spanyol

Sejarah dakwah panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam periode, yaitu:

Periode Pertama (711-755 M)
Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus. Pada periode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum terkendali akibat gangguan keamanan di beberapa wilayah, karena pada masa ini adalah masa peletakkan dasar, asas dan invasi Islam di Spanyol. Hal ini ditandai dengan adanya gangguan dari berbagai pihak yang tidak senang kepada Islam. Sentralisasi  kekuasaan  masih di bawah Daulat Umayyah di Damaskus.

Periode Kedua (755-912 M)
Pada masa ini umat Islam di Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan, baik dalam bidang politik, peradaban serta pendidikan. Abdurrahman mendirikan mesjid Cardova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar di Spanyol. Kemudian penerus-penerusnya yang lain seperti Hisyam dikenal berjasa dalam menegakkan hukum Islam, dan Hakam dikenal sebagai pembaharu dalam bidang kemiliteran, sedangkan Abdurrhman al-Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu. Pada masa Abdurrhman al-Ausath ini pemikiran filsafat mulai masuk, maka ia mengundang para ahli dari dunia Islam lainnya untuk datang ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di Spanyol mulai semarak.

Periode Ketiga (912-1013 M)
Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abdurrahman III, yang bergelar “An-Nasir” sampai munculnya muluk at-thawaif (raja-raja kelompok). Pada periode ini Spanyol diperintah oleh penguasa dengan gelar ‘Khalifah”. Pada periode ini juga umat Islam di Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan menyaingi Daulat Abbasiyah di Bagdad. Abdurrahman an-Nasir mendirikan universitas Cordova. Perpustakaannya memiliki koleksi ratusan ribu buku. Hakam II juga seorang kolektor buku dan pendiri perpustakaan.

Periode Keempat (1013-1086 M)
Pada periode ini Spanyol terpecah menjadi lebih dari 30 negara kecil di bawah pimpinan raja-raja golongan atau al-muluk at-thawaif, yang berpusat di suatu kota seperti Sivilie, Toledo dan sebagainya. Yang terbesar diantaranya adalah Abbadiyah di Sivilie.

Pada masa Khlaifah Sulaiman (1009-1010/1013-1016) keadaan pusat kekhalifahan Spanyol dilanda kekacauan politik berlangsung secara cepat, akhirnya pada tahun 1013 M dewan menteri yang memerintah Cardova menghapuskan jabatan khalifah. Pada saat ini kekuatan muslim Spanyol terpecah dalam banyak negara kecil di bawah pimpinan raja-raja atau muluk at-thawaif. Tercatat lebih 30 negara kecil yang berpusat di Seville, Cardova, Toledo dan lain-lain.
Kekuatan kristen wilayah utara Spanyol bergerak untuk bangkit, kekacauan pemerintahan pusat dimanfaatkan mereka sebaik-baiknya. Al-Fonso VI penguasa Castile yang menjabat sejak tahun 486 H/1065 M berhasil menyatukan 3 basis kekuatan kristen castille, Leon dan Navarre menjadi sebuah kekuatan militer hebat untuk menyerbu Toledo.
Periode Kelima (1086-1248 M) Masa Dinasti Kecil
Pada periode ini terdapat suatu kekuatan yang masih dominan, yaitu kekuasaan dinasti Murabbitun (1146-1235 M). dinasti Murabbitun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama di Afrika Utara yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyifin. Pada tahun 1062 M, ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesh. Ia masuk ke Spanyol atas undangan penguasa-penguasa Islam yang tengah mempertahankan kekuasaannya dari serangan raja-raja kristen.

Pada tahun 1143 M, kekuasaan dinasti Murabbitun berakhir, baik di Afrika Utara maupun di Spanyol dan digantikan oleh dinasti Muwahhidun. Dinasti Muwahhidun datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abdul Mun’im sekitar tahun 1114 dan 1154 M, kota-kota penting umat Islam di Cordova, Almeria, dan Granada jatuh di bawah kekuasaannya. Untuk beberapa dekade dinasti ini mengalami banyak kemajuan.

Periode Keenam (1248-1492 M)
Pada periode ini Islam hanya berkuasa di daerah Granada di bawah dinasti Bani Ahmar (1232-1492 M). peradaban kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman an-Nasir. Namun secara politik dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Pada periode ini adalah akhir dari ekstensi umat Islam di Spanyol. Menurut Harun Nasution, pada sekitar tahun 1609 M boleh dikatakan tidak ada lagi umat Islam di daerah ini.

Sejarah dakwah yang dilakukan dinasti Umayah II di Spanyol semakin menunjukkan keseriusan Bani Umayah dalam mensyiarkan Islam sebagai Agama rahmatan lilalamin. Di bawah pimpinan Abdurrahman Ad-Dakhil Islam bisa sampai ke kawasan eropa dan semua bidang saat itu berkembang pesat , terutama ilmu pengetahuan, pembangunan fisik, filsafat, ekonomi dll.

2.5 Hambatan Dakwah Pada Masa Bani Umayah

Menurut kami ada dua hambatan dakwah yang terjadi pada masa Bani Umayah. Hambatan-hambatan  tersebut  muncul  baik dari faktor internal maupun eksternal.

Faktor  internal  yang  menjadi  hambatan dakwah Bani Umayah  ialah :

Kurangnya konsistensi dari para khalifah yang memerintah di akhir daulah Umayah, dimana khalifah terakhir umayah lebih mementingkan kehidupan mewah dunia di banding dengan kewajiban dakwah yang sudah seharusnya dilakukan.
Adanya persaingan di kalangan anggota dinasti Umayah mengenai penggantian khalifah yang ada. Di mana masing-masing anggota menginginkan dirinya sebagai khalifah.
Hidup mewah di istana memperlemah jiwa dan vitalitas anak-anak khalifah yanag membuat mereka kurang sanggup untuk memikul beban pemerintahan negara.
Adapun yang menjadi faktor eksternal, di antaranya :

Munculnya berbagai macam tantangan dan pemberontakan dari berbagai golongan yang  tidak  menyetujui  Muawiyyah sebagai Khalifah.
Munculnya persaingan dari dinasti lain yang merupakan satu keturunan dengan bani umayah, yaitu bani Hasyim yang juga menginginkan jabatan Khalifah. Yaitu munculnya dinasti Abbasiyyah.
Itulah yang menjadi penghambat dakwah pada masa Bani Umayah. Wallahu a’lam bi ash-shawab





BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, dapat kita simpulkan bahwa dakwah pada masa Bani Umayah begitu intens dilakukan. Walaupun, awalnya Bani Umayah adalah penentang keras terhadap Dakwah atau ajaran yang telah Allah turunkan melalui Nabi-Nya Muhammad SAW.  Namun, setelah masuknya  Bani Umayah, mereka menjadi pendukung utama, menjadi pedang-pedang tajam umat islam saat itu. Mereka yang berada di garda terdepan untuk membela agama yang akan membawa kedamaian bagi umat manusia seluruhnya.

Ada sesuatu yang menarik mengenai perjalanan dakwah Islam pada masa Bani Umayah, saat itu dakwah islam telah mencapai kemajuan yang pesat, yang mana mereka bisa menjamah kawasan Afrika dan Eropa. Intensitas dakwah islam saat itu dilakukan dengan berbagai jalur dan metode pergerakan yang mendatangkan hasil yang signifikan. Dakwah dilakukan tidak hanya dengan gerakan ekspansi wilayah yang membawa islam ke luar wilayah jazirah Arab, tetapi juga saat itu dakwah Islamiyyah dilakukan dengan berbagai metode dan gerakan-gerakan represif lainnya. Baik itu melalui gerakan kajian ilmiah, berupa halaqah-halaqah, seni, bahasa, dll.

Bani Umayah mampu membuktikan kepada kita keseriusannya dalam menyampaikan dan memperkenalkan syiar islam. Bagaimana tidak, di tengah carut-marut kondisi perpolitikan saat itu, di tambah dengan banyaknya pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah dan dari berbagai golongan, lantas tidak menjadikan Bani Umayah menyampingkan kewajiban Dakwah yang sudah seharusnya dilakukan. Melainkan kondisi tersebut mereka jadikan sebagai pacuan untuk meningkat kestabilan kehidupan umat islam saat itu di berbagai bidang. Nyatanya, tidak hanya ekspansi dan ilmu pengetahuan yang berkembang saat itu, tapi dakwah yang dilakukan Bani Umayah juga telah mengantarkan umat Islam ke taraf kehidupan yang lebih baik, baik itu dalam hal sosial, politik dan terlebih ekonomi.

Banyak jasa yang telah dilakukan oleh Bani Umayah terhadap dakwah Islam, masuknya islam ke daerah Spanyol (Andalusia) merupakan prestasi gemilang dakwah islamiyyah yang dilakukan oleh Bani Umayah yang dipelopori oleh Abdurrahman Ad-dakhil. Tidak hanya itu, kalau kita kaji lebih dalam, ternyata dengan masuknya islam ke Andalusia bukan hanya mendatangkan manfaat bagi Umat islam sendiri – dalam proses penyebaran islam -, tapi juga mendatangkan keajaiban tersendiri bagi bangsa Eropa yang pada saat itu berada di zaman jahiliyyah. Kalau saja dulu islam tidak pernah masuk ke Eropa, mungkin saat Eropa tetap berada di zaman kegelapan, dan mereka belum tentu bisa mengenal ilmu pengetahuan dan budaya. Dan kami kira, ini adalah awal dari kebangkitan bangsa  Eropa  dengan  masuknya  islam ke Andalusia.

Namun sayangnya, di tengah berbagai kejayaan yang telah diperoleh Bani Umayah saat itu, sering kali para generasi penerus saat itu tidak konsisten terhadap dakwah islam, sehingga banyak di antara generasi penerusnya yang hanya mementingkan kehidupan dunia tanpa mau memikirkan  bagaimana  gerakan  dakwah yang seharusnya dilakukan.

Dan sekarang, banyak juga di antara kita yang senantiasa mengecap negatif terhadap Bani Umayah hanya karena perlakuan yang dilakukannya terhadap Ali dan pengikutnya. Padahal, perlu kita ingat bahwasanya begitu banyak jasa yanag telah dilakukan oleh Bani Umayah terhadap dakwah Islam. Hingga akhirnya Islam bisa dikenal di kawasan Eropa.

Semoga, kita semua sebagai generasi penerus Islam senantisa menjadikan dakwah sebagai gerakan hidup dalam menunaikan kewajiban menyampaikan dakwah islam terhadap yang lainnya. Dan semoga apa yang  kami paparkan bisa dijadikan sebagai salah satu stimulus untuk memacu motivasi kita terhadap dakwah yang kemudian akan kita lakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Asep Kusnawan M.Ag.,dkk. 2009. Dimensi Ilmu Dakwah, Bandung : Widya Padjadjaran

Syalabi, Ahmad Prof. Dr.1983. sejarah dan kebudayaan islam jilid II, Jakarta : PUSTAKA ALHUSNA.

Enjang AS  & Aliyudin. 2009. Dasar-dasari Ilmu Dakwah, Bandung : Widya Padjadjaran.

Fatchur Rahman, Drs. 1974. Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung : PT ALMA’ARIF .

Nasution, Harun Prof.Dr. 2008. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya jilid I&II, Jakarta : UI-Press.

Sunanto, Musyrifah Prof.Dr. 2007. SEJARAH ISLAM KLASIK (PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN ISLAM), Jakarta : KENCANA.

Suratno M.s.,S.Ag. 2004. Khazanah sejarah kebudayaan islam, Solo : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Wahyu Ilaihi & Harjani Hefni. 2007. Pengantar sejarah Dakwah, Jakarta : Kencana.

[1] Prof. Ahmad Syalabi. Sejarah Kebudayaan Islam jilid 2, hal 19.
[2] Prof. Dr.Hj.Musyrifah Sunanto. Sejarah Islam Klasik, hal 41-42.

[3] Harun Nasution. Islam Ditinjau dari berbagai aspek, hal 56.


[4] Prof.Dr.Musyrifah Sunanto, ibid, hal 45.

Read full post »
 

Copyright © Blog Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger