Sabtu, 01 Maret 2014

HUKUM MENGGOSIP

0 komentar


Gosip (bahasa Arab, ghibah الغيبة; Jawa, ngerasani; Inggris, rumour) adalah membicarakan perilaku orang lain yang umumnya terkait hal-hal yang negatif. Saat ini ghibah menjadi sangat merajalela seiring dengan banyaknya acara gosip di TV yang dikenal dengan jurnalisme infotaintment. Infotainment umumnya memuat dan membahas gosip seputar berita miring selebriti atau tokoh-tokoh nasional biasanya terkait dengan pacaran, perselingkuhan, perceraian, operasi kecantikan, dan hal-hal pribadi lainnya. Dalam kehidupan non-selebriti, yakni kehidupan masyarakat, menggosip juga menjadi hal yang disukai terutama di kalangan perempuan walaupun terjadi juga di kalangan kaum lelaki. Muslim ada baiknya mengetahui hukum dari menggosip atau ghibah agar kita tidak mudah terjatuh pada kebiasaan yang sudah dianggap lumrah.

DAFTAR ISI
Definisi Ghibah (Gosip)
Dalil Quran Dan Hadits Tentang Ghibah
Dalil Haramnya Ghibah
Dalil Bolehnya Ghibah
Ukum Gosip (Ghibah) Ada Tiga: Haram, Wajib, Boleh
Haram
Wajib
Halal

DEFINISI GHIBAH (GOSIP)

Nabi menjelaskan definisi ghibah dalam sebuah hadits riwayat Muslim sebagai berikut:

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوْا: اَللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Artinya: Tahukah kalian apa itu ghibah (menggunjing)?. Para sahabat menjawab : Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Kemudian beliau bersabda : Ghibah adalah engkau membicarakan tentang saudaramu sesuatu yang dia benci. Ada yang bertanya. Wahai Rasulullah bagaimana kalau yang kami katakana itu betul-betul ada pada dirinya?. Beliau menjawab : Jika yang kalian katakan itu betul, berarti kalian telah berbuat ghibah. Dan jika apa yang kalian katakan tidak betul, berarti kalian telah memfitnah (mengucapkan suatu kedustaan).

Imam Nawawi mendefinisikan makna ghibah sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fatbul Bari Syarah Bukhari hlm. 10/391 demikian:

وقال النووي في الاذكار تبعا للغزالي ذكر المرء بما يكرهه سواء كان ذلك في بدن الشخص أو دينه أو دنياه أو نفسه أو خلقه أو خلقه أو ماله أو والده أو ولده أو زوجه أو خادمه أو ثوبه أو حركته أو طلاقته أو عبوسته أو غير ذلك مما يتعلق به سواء ذكرته باللفظ أو بالإشارة والرمز
Artinya: Imam Nawawi berkata dalam kitab Al-Adzkar mengikuti pandangan Al-Ghazali bahwa ghibah adalah menceritakan tentang seseorang dengan sesuatu yang dibencinya baik badannya, agamanya, dirinya (fisik), perilakunya, hartanya, orang tuanya, anaknya, istrinya, pembantunya, raut mukanya yang berseri atau masam, atau hal lain yang berkaitan dengan penyebutan seseorang baik dengan lafad (verbal), tanda, ataupun isyarat.


DALIL QURAN DAN HADITS TENTANG GHIBAH

Dalil-dalil dari Quran dan hadits tentang ghibah adalah sebagai berikut:


DALIL HARAMNYA GHIBAH

- QS Al Hujurat : 12

وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Artinya: Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Ibnu Abbas dalam menafsiri ayat di atas menyatakan: (إنما ضرب الله هذا المثل للغيبه لأن أكل لحم الميت حرام مستقذر و كذا الغيبه حرام فى الدين و قبيح فى النفوس) Allah membuat perumpamaan ini untuk ghibah karena memakan daging bangkai itu haram dan menjijikkan. Begitu juga ghibah itu haram dalam agama dan buruk dalam jiwa. (Lihat Tafsir Al-Qurtubi hlm 16/346).

- Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud

لما عٌرج بى مررت بقوم لهم اظفار من نحاس يخمشون وجوههم و صدورهم فقلت :من هؤلاء يا جبريل؟ قال: هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس و يقعون فى أعراضهم.

Artinya: Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Maka aku bertanya :”Siapakah mereka ya Jibril?” Jibril berkata :”Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia”.

- Hadits riwayat Ahmad dari Jabir bin Abdullah
كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَارْتَفَعَتْ رِيحُ جِيفَةٍ مُنْتِنَةٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَتَدْرُونَ مَا هَذِهِ الرِّيحُ هَذِهِ رِيحُ الَّذِينَ يَغْتَابُونَ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya: Kami pernah bersama Nabi tiba-tiba tercium bau busuk yang tidak mengenakan. Kemudian Rosulullohbersabda, ‘Tahukah kamu, bau apakah ini? Ini adalah bau orang-orang yang mengghibah (menggosip) kaum mu’minin.

gosip haram

DALIL BOLEHNYA GHIBAH

- QS An Nisa 4:148

لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا

Artinya: Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

- Hadits riwayat Muslim

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ.

- Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Baihaqi

اذكروا الفاسق بما فيه، يحذره الناس

Artinya: Ceritakan tentang pendosa apa adanya supaya orang lain menjadi takut.

- Hadits riwayat Muslim

كل أمتي معافى إلا المجاهرون

Artinya: Setiap umatku akan dimaafkan kecuali para mujahir.
Mujahir adalah orang-orang yang menampakkan perilaku dosanya untuk diketahui umum

- Hadits riwayat Baihaqi

من ألقى جلباب الحياء فلا غيبة له

Artinya: Barangsiapa yang tidak punya rasa malu (untuk berbuat dosa), maka tidak ada ghibah (yang dilarang) baginya.


HUKUM GOSIP (GHIBAH) ADA TIGA: HARAM, WAJIB, BOLEH

Dari sejumlah dalil Quran dan hadits di atas, maka ulama mengambil kesimpulan bahwa hukum ghibah atau gosip itu terbagi tiga yaitu haram, wajib dan halal (boleh).


HARAM

Hukum asal gosip adalah haram. Gosip yang haram adalah ketika anda membicarakan aib sesama muslim yang dirahasiakan. Baik aib itu terkait dengan bentuk fisik atau perilaku; terkait dengan agama atau duniawi. Hukum haram ini tersurat secara tegas dalam Al-Quran, hadits seperti disebut di atas dan ijmak ulama sebagaimana disebutkan oleh Al-Qurtubi dalam Tafsir Al-Qurtubi 16/436. Yang menjadi perselisihan ulama hanyalah apakah gosip termasuk dosa besar atau kecil. Mayoritas ulama menganggapnya sebagai dosa besar. Menurut Ibnu Hajar Al-Haitami ghibah dan namimah (adu domba) termasuk dosa besar.

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar berkata: Ghibah itu haram tidak hanya bagi pembawa gosip tapi juga bagi pendengar yang mendengar dan mengakui. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar orang memulai berghibah untuk berusaha menghentikannya apabila ia tidak kuatir pada potensi ancaman. Apabila takut maka ia wajib mengingkari dengan hatinya dan keluar dari majelis pertemuan kalau memungkinkan. Apabila mampu mengingkari dengan lisan atau dengan mengalihkan pembicaraan maka hal itu wajib dilakukan. Apabila tidak dilakukan, maka ia berdosa.


WAJIB

Ghibah atau membicarakan / menyebut aib orang lain adakalanya wajib. Hal itu terjadi dalam situasi di mana ia dapat menyelamatkan seseorang dari bencana atau potensi terjadinya sesuatu yang kurang baik. Misalnya, ada seorang pria atau wanita yang ingin menikah. Dia meminta nasihat tentang calon pasangannya. Maka, si pemberi nasihat wajib memberi tahu keburukan atau aib calon pasangannya sesuai dengan fakta yang diketahui pemberi nasihat. Atau seperti si A memberitahu pada si B bahwa si C berencana untuk mencuri hartanya atau membunuhnya atau mencelakakan istrinya, dlsb. Ini termasuk dalam kategori memberi nasihat. Dan hukumnya wajib seperti disebut dalam hadits di atas tentang 6 hak muslim atas muslim yang lain.


BOLEH

Imam Nawawi dalam Riyadus Shalihin 2/182 membagi gosip atau ghibah yang dibolehkan menjadi enam sebagai berikut:


الأول: التظلم، فيجوز للمظلوم أن يتظلم إلى السلطان والقاضي وغيرهما مما له ولاية أو قدرة على إنصافه من ظالمه، فيقول: ظلمني فلان كذا.
الثاني: الاستعانة على تغيير المنكر ورد المعاصي إلى الصواب، فيقول لمن يرجو قدرته على إزالة المنكر: فلان يعمل كذا، فازجره عنه.
الثالث: الاستفتاء، فيقول: للمفتي: ظلمني أبي، أو أخي، أو زوجي، أو فلان بكذا.
الرابع: تحذير المسلمين من الشر ونصيحتهم.
الخامس: أن يكون مجاهرًا بفسقه أو بدعته، كالمجاهر بشرب الخمر ومصادرة الناس وأخذ المكس وغيرها.
لسادس: التعريف، فإذا كان الإنسان معروفًا بلقب الأعمش، والأعرج والأصم، والأعمى والأحول، وغيرهم جاز تعريفهم بذلك.

Artinya:
Pertama, At-Tazhallum. Orang yang terzalimi boleh menyebutkan kezaliman seseorang terhadap dirinya. Tentunya hanya bersifat pengaduan kepada orang yang memiliki qudrah (kapasitas) untuk melenyapkan kezaliman.

Kedua, isti’ānah (meminta pertolongan) untuk merubah atau menghilangkan kemunkaran. Seperti mengatakan kepada orang yang diharapkan mampu menghilangkan kemungkaran: "Fulan telah berbuat begini (perbuatan buruk). Cegahlah dia."

Ketiga, Al-Istifta' atau meminta fatwa dan nasihat seperti perkataan peminta nasihat kepada mufti (pemberi fatwa): "Saya dizalimi oleh ayah atau saudara, atau suami."

Keempat, at-tahdzīr lil muslimīn (memperingatkan orang-orang Islam) dari perbuatan buruk dan memberi nasihat pada mereka.

Kelima, orang yang menampakkan kefasikan dan perilaku maksiatnya. Seperti menampakkan diri saat minum miras (narkoba), berpacaran di depan umum, dll.

Keenam, memberi julukan tertentu pada seseorang. Apabila seseorang dikenal dengan julukan
ا
Kategori dan bolehnya ghibah untuk enam kasus di atas disetujui oleh Imam Qurtubi dan dianggap pendapat yang ijmak. Dalam Tafsir Al-Qurtubi 16/339 iya menyatakan
وكذلك قولك للقاضي تستعين به على أخذ حقك ممن ظلمك فتقول فلان ظلمني أو غصبني أو خانني أو ضربني أو قذفني أو أساء إلي، ليس بغيبة. وعلماء الأمة على ذلك مجمعة

Artinya: Begitu juga ucapan anda pada hakim meminta tolong untuk mengambil hak anda yang diambil orang yang menzalimi lalu anda berkata pada hakim: Saya dizalimi atau dikhianati atau dighasab olehnya maka hal itu bukan ghibah. Ulama sepakat atas hal ini.

As-Shan'ani dalam Subulus Salam 4/188 menyatakan
والأكثر يقولون بأنه يجوز أن يقال للفاسق : يا فاسق , ويا مفسد , وكذا في غيبته بشرط قصد النصيحة له أو لغيره لبيان حاله أو للزجر عن صنيعه لا لقصد الوقيعة فيه فلا بد من قصد صحيح


Artinya: Kebanyakan ulama berpendapat bahwa boleh memanggil orang fasik (pendosa) dengan sebutan Wahai Orang Fasiq!, Hai Orang Rusak! Begitu juga boleh meggosipi mereka dengan syarat untuk bermaksud menasihatinya atau menasihati lainnya untuk menjelaskan perilaku si fasiq atau untuk mencegah agar tidak melakukannya. Bukan dengan tujuan terjatuh ke dalamnya. Maka (semua itu) harus timbul dari maksud yang baik.
Read full post »

Rabu, 15 Januari 2014

What Is Maulid Nabi?

0 komentar

Maulid Nabi Muhammad SAW
Maulid Nabi Muhammad SAW kadang-kadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: مولد النبي, mawlid an-nabī), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad.
Sejarah Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh Raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin Al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 Hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata:
Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi'ul Awal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang yang berani, pahlawan, alim dan seorang yang adil – semoga Allah merahmatinya.
Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn Al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut, Sultan Al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama dalam bidang ilmu Fiqh, ulama Hadits, ulama dalam bidang ilmu kalam, ulama usul, para ahli tasawuf, dan lainnya. Sejak tiga hari, sebelum hari pelaksanaan Maulid Nabi, beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para hadirin yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua berpandangan dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu.
Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat Al-A`yan menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam dan seterusnya ke Irak. Ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijriah, beliau mendapati Sultan Al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karena itu, Al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “Al-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Sultan Al-Muzhaffar.
Para ulama, semenjak zaman Sultan Al-Muzhaffar dan zaman selepasnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan Maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Para ulama terkemuka dan Huffazh Al-Hadits telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti Al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), Al-Hafizh Al-Iraqi (w. 806 H), Al-Hafizh As-Suyuthi (w. 911 H), Al-Hafizh Al-Sakhawi (w. 902 H), SyeIkh Ibn Hajar Al-Haitami (w. 974 H), Al-Imam Al-Nawawi (w. 676 H), Al-Imam Al-Izz ibn Abd Al-Salam (w. 660 H), mantan mufti Mesir yaitu Syeikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i (w. 1354 H), mantan Mufti Beirut Lubnan yaitu Syeikh Mushthafa Naja (w. 1351 H), dan terdapat banyak lagi para ulama besar yang lainnya. Bahkan Al-Imam Al-Suyuthi menulis karya khusus tentang Maulid yang berjudul “Husn Al-Maqsid Fi Amal Al-Maulid”. Karena itu perayaan Maulid Nabi, yang biasa dirayakan pada bulan Rabiul Awal menjadi tradisi umat Islam di seluruh dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.
Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn Al-Jauzi, Ibn Kathir, Al-Hafizh Al-Sakhawi, Al-Hafizh Al-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan Al-Muzhaffar, bukan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Orang yang mengatakan bahwa Sultan Salahuddin Al-Ayyubi yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi telah membuat “fitnah yang jahat” terhadap sejarah. Perkataan mereka bahwa Sultan Salahuddin membuat Maulid untuk tujuan membangkitkan semangat umat untuk berjihad dalam Perang Salib, maka jika diadakan bukan untuk tujuan seperti ini berarti telah menyimpang, adalah perkataan yang sesat.
Bagaimana mungkin Shalahuddin menghidupkan perayaan Maulid sedangkan beliau sendiri yang menumpas ‘Ubaidiyyun?! Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan,
صَلَاحِ الدِّينِ الَّذِي فَتَحَ مِصْرَ ؛ فَأَزَالَ عَنْهَا دَعْوَةَ العبيديين مِنْ الْقَرَامِطَةِ الْبَاطِنِيَّةِ وَأَظْهَرَ فِيهَا شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ
Artinya:
“Sholahuddin-lah yang menaklukkan Mesir. Beliau menghapus dakwah ‘Ubaidiyyun yang menganut aliran Qoromithoh Bathiniyyah (aliran yang jelas sesatnya, pen). Shalahuddin-lah yang menghidupkan syari’at Islam di kala itu.”[1]
Dalam perkataan lainnya, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan,
فَتَحَهَا مُلُوكُ السُّنَّة مِثْلُ صَلَاحِ الدِّينِ وَظَهَرَتْ فِيهَا كَلِمَةُ السُّنَّةِ الْمُخَالِفَةُ لِلرَّافِضَةِ ثُمَّ صَارَ الْعِلْمُ وَالسُّنَّةُ يَكْثُرُ بِهَا وَيَظْهَرُ
Artinya:
“Negeri Mesir kemudian ditaklukkan oleh raja yang berpegang teguh dengan Sunnah yaitu Shalahuddin. Beliau yang menampakkan ajaran Nabi yang shahih di kala itu, berseberangan dengan ajaran Rafidhah (Syi’ah). Di masa beliau, akhirnya ilmu dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin terbesar luas.”[2]
Sumber lain mengatakan perayaan Maulid yang sebenarnya diprakarsai oleh Dinasti Fatimiyyun sebagaimana dinyatakan oleh banyak ahli sejarah. Berikut perkataan ahli sejarah mengenai Maulid Nabi.
Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah az-Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.”[3]
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.[4]

Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun).[5]
Read full post »
 

Copyright © Blog Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger